Senin, 07 Desember 2020

Pan Yubileum, 100th ( Mengenang Masuknya Injil ke Tano Niha/Pulau Nias) oleh DR. Etiknius Harefa M.Th M.PdK

 


                                Lō’ō sa ailado ba duria somuso dōdō andrō,  noa sa fa’abōlō Lowalagi ia

                                ba wangorifi samati andrō fefu, ba niha Yehuda ua ba ba ndrawa Heleni

                                gōi.   (Roma 1:16)

 

 

A.      Pendahuluan

Saya menyambut baik penuh sukacita upaya panitia untuk mengajak kita semua melakukan suatu refleksi atas peristiwa sejarah yang sangat menentukan, ketika Injil yang sudah tiba di Nias 27 September 1865 tersebut, semakin meluas ke daerah Nias bagian utara, tepatnya pada tahun 1911 di Hili Maziaya.

Refleksi ini menekankan bahwa kita yang hidup sekarang merupakan buah dari pekabaran injil tersebut, dan harus terus menerus berbuah bagi kebutuhan yang mendesak yaitu “Pembaharuan” sebagai suatu respon iman paling tepat untuk menyikapi perubahan yang sedang terjadi di sekitar kita.

Perubahan-perubahan yang sudah dan sedang terjadi, sering kali terjadi di luar kontrol dan pengawasan serta kemampuan kita, karena perubahan merupakan sebuah arus yang sangat kuat melanda semua kawasan kehidupan manusia disebabkan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memberi sumbangan bagi terciptanya nilai-nilai baru yang belum tentu selamanya sinkron dengan Iman kita sebagai orang Kristen, juga tidak selamanya konsisten dengan nilai-nilai budaya kita yang di dalamnya kita hidup sebagai masyarakat adat di Nias Utara ini.

Apakah ada andil kita dalam perubahan? Apakah kita dapat merancang suatu perubahan? Bagaimana kita menyikapi perubahan yang terjadi? Apakah institusi Gerejani, Institusi Pemerintah, Institusi Adat, dan Keluarga punya peran signifikan dalam meletakkan pilar-pilar bagi masyarakat dan warga jemaat kita dalam menyikapi perubahan tersebut?

Jawabannya adalah “ya”, sesuai dengan tuntutan Sub Tema ceramah yang telah dipersiapkan oleh panitia bagi kita,  namun semuanya menjadi sangat dipengaruhi oleh kesiapan kita untuk melakukannya (Baca : modal), dan juga keikhlasan kita untuk menerima konsekwensinya, yang tidak hanya sekedar memberi kegembiraan dan suka cita, tetapi bisa juga membutuhkan pengorbanan, termasuk bila hasilnya tidak selamanya menguntungkan pribadi kita masing-masing,  melainkan justru orang lain yang duntungkan oleh usaha tersebut. 

Kekuatan Injil menurut Paulus terletak dalam kuasanya yang menyelamatkan setiap orang percaya tanpa kecuali, dan kuasa Injil yang dimaksud adalah kuasa Allah sendiri.  Rasul Paulus menandaskan dalam Roma 1:16, bahwa ia tidak merasa malu menaruh pikiran, perasaan dan harapannya pada Injil.  Juga tidak malu mengandalkan dan membagi Injil itu bagi siapapun, karena pada peristiwa penyaliban, kematian, dan kebangkitan Yesus, Allah telah membuktikan dengan nyata kepada dunia saat itu akan kuasaNya yang hebat dan ajaib tersebut.   Jemaat mula-mula yang tumbuh justru dalam penganiayaan, telah membuktikan lewat pengalaman hidup mereka sehari-hari, bahwa satu-satunya kuasa yang dapat mengubah, membentuk dan dapat membangun, hanyalah kuasa Allah yang dinyatakan dalam Injil

Para penulis sejarah Gereja Nias sepakat menginformasikan kepada generasi ini bahwa sebelum Injil masuk di bumi Nias, masing-masing kampung berjalan sendiri tanpa kesatuan, saling berperang, kekuasaan para Salawa, Si’ulu, dan Balugu terkesan besar di kampungnya sendiri, penyakit merajalela dimana-mana, berbagai kesulitan ekonomi dan masalah beratnya jujuran pernikahan yang menimbulkan kemiskinan turun-temurun[1].

 Selama hampir 100 tahun berita Inji telah tertanam di bumi Nias utara yang dimulai dari Hili Maziaya ini, ternyata kuasa  Roh Kudus yang mengaktualkan Injil tersebut, telah berhasil memangkas Fa’udusa antar Banua, mengubah ketergantungan pada Adu Zatua, membasmi penyakit, membuka komunikasi antar desa,  memberi nilai baru bagi Fabanuasa, Fatalifusōta, dan Fahasara dōdō.  Perubahan yang sangat berarti telah terjadi, mewujudkan hidup lebih bermakna.  Fa’a niha Keriso menjadi lebih berkualitas ketika Fangesa Dōdō Sebua telah melanda seluruh kawasan kehidupan warga jemaat sejak tahun 1916[2]

   Sangat perlu kita mencermati dan menjadi prihatin sekarang ini, karena nilai-nilai yang indah dan sangat berharga tersebut, mulai pudar oleh kekuatan nilai-nilai baru yang  diproduksi oleh budaya global yang serba modern.  Tanggul-tanggul adat Fabanuasa mulai jebol oleh derasnya pengaruh ini, demikian juga dengan benteng-benteng iman mulai bocor di sana-sini, sehingga tidak ampu memberi jawaban yang pasti darimana dan hendak kemana perubahan yang sedang dipropagandakan oleh budaya global, dan mental konsumerisme di era teknologi canggih seperti sekarang.

Perangkat teknologi canggih bidang informatika dan komunikasi, telah memberi banyak kemudahan, cenderung memanjakan siapa saja termasuk anak-anak kita sekarang ini.   Kemungkinan besar para perancangnya belum sempat memikirkan dan mempertimbangkan dampak negatif yang kita alami sekarang. Mereka hanya memikirkan agar hasil rancangan mereka memberi kemudahan bagi semua orang dan dapat menguntungkan semua pihak.  Tetapi inilah yang terjadi : ancaman dan bahaya hancurnya moralitas dan kehilangan pegangan hidup seperti yang kita temukan pada generesi muda kita dimana-mana, telah menjadi tantangan cukup berat bagi semua pihak dalam menghadapinya

    Karena demikian maka kenyataan seperti itu mendorong kita untuk memikirkan perubahan yang sesuai dengan kebutuhan kita.  Sesungguhnya,  itulah yang sedang dirindukan oleh semua orang sekarang yaitu :

1. Perubahan yang tidak menghancurkan iman, tetapi yang menumbuhkan dan mendewasakannya. Suatu perubahan yang memberi tempat bagi kasih dan kuasa Allah yang membentuk hidup dan kepribadian yang utuh.

2.   Perubahan yang tidak menghancurkan solidaritas masyarakat adat dalam konteks Fabanuasa  dan  Fatalifusōta, suatu perubahan yang dapat menumbuh kembangkan potensi Fahasara dōdō dan Falulu Fohalōwō.

3. Perubahan yang mewujudkan keseimbangan di segala aspek dan sektor kehidupan barmasayarakat, beragama, bernegara, dan berkeluarga. Suatu perubahan yang menghasilkan  keseimbangan antara   Iman,   Ilmu dan ketrampilan teknologi.

4.       Perubahan yang mampu memberi kecerdasan dan kreatifitas berpikir kritis dan konstruktif, yang tidak hanya sekedar menganut dan menerapkan nilai-nilai baru, melainkan mampu mengkritisi dan menyeleksi nilai-nilai tersebut secara konstruktif.

B.      Perubahan Terencana Menuju Masyarakat Nias Modern

Istilah strategi  dalam dunia pendidikan adalah usaha yang menunjuk pada sebuah perencanaan untuk mencapai sesuatu tujuan, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan suatu strategi, untuk itu strategi dan metode membutuhkan pendekatan (approach)  yang menjadi titik tolak dalam proses mewujudkan strategi dan metode yang digunakan[3]

Dr. Jhon  Ihalauw mengemukakan suatu jawaban atas pertanyaan “Bagaimana mengadakan perubahan sosial terencana itu”? dengan merujuk pada tiga jenis strategi sebagai berikut :

a.       Strategi yang bersifat empiris-rasional.  Strategi ini menekankan pemberdayaan masyarakat di bidang pengetahuan, dan diperankan oleh lembaga pendidikan yang ada.  Hanya dengan pengetahuan maka perubahan taraf hidup dan wawasan berpikir masyarakat dapat berubah dan menjadi masyarakat yang rasional.

b.      Strategi yang bersifat normative-re educative.  Strategi ini memandang manusia sebagai pribadi yang terikat dan tergantung pada lingkungan sosial ataupun lingkungan jemaatnya, manusia berkreasi dan menghargai hidupnya,  dan hidup orang lain berdasarkan norma yang ada dalam masyarakat dan jemaat.  Dalam hal ini kesadaran menjadi warga masyarakat, warga jemaat yang dewasa dan bertanggung jawab, perlu diciptakan oleh Gereja dan lembaga adat, sehingga keteraturan dalam menyikapi masalah hidup sehari-hari dapat terwujud, dan perubahan yang dicanangkan akan mendapat respon yang kritis dan konstruktif.

c.       Strategi yang berlandaskan Power atau kekuasaan[4].  Strategi ini membutuhkan kuasa mewujudkan aturan dan kebijakan pemerintahan, dan hal itu ada di tangan Pemerintah Daerah, para pimpinan di tingkat desa (Kepala Desa dan selanjutnya Kepala Dusun).  Kepatuhan masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan secara bersama-sama perubahan dimaksud sangat diperlukan. Untuk itu sebuah daerah dan desa membutuhkan aparat birokrasi yang bersih dan berwibawa untuk memegang tongkat komando bagi mewujudkan rencana perubahan tersebut.  Mereka adalah Hamba Tuhan yang bekerja bagi daerah dan bagi desanya.

Saya pikir ketiga strategi tersebut telah diperankan oleh lembaga pendidikan, pemerintah dan lembaga lain yang ada dalam masyarakat kita selama ini, walau hasilnya sudah mulai nampak juga, tetapi ada kesan seakan-akan kita tidak berdaya melakukannya, dan kita cenderung mencari penyebab mengapa semuanya tidak dapat efektif seperti yang diharapkan.  Strategi yang baik ini perlu dilengkapi dan disempurnakan oleh strategi yang bersifat  teologis sebagai berikut :

Strategi Perubahan Sosial dalam Ajaran Tuhan Yesus

1.       Menjadi garam dan terang dunia. (Mat. 5:13-14)  Yesus tidak bermaksud agar moralitas yang sudah busuk dapat diawetkan dengan datangnya garam, dan mengutus murid-muridNya supaya mereka melestarikan/mengawetkan mental tersebut. Yesus tidak mengajarkan etika kompromi terhadap mental dan moralitas duniawi yang busuk saat itu. Sungguh ironis apabila ada hamba Tuhan yang mendoakan pejabat  pemerintah yang korupsi supaya tetap sehat dan diberi umur panjang, padahal doa dan pelayanan yang sangat dibutuhkan oleh oknum birokrat tersebut ialah supaya dapat mengalami perubahan.  Tuhan Yesus menuntut pertobatan  yang menjadi syarat mutlak untuk terwujudnya  pengubahan.  Murid-murid yang sudah diubah selanjutnya dimuridkan kemudian diutus untuk menghasilkan buah yang tetap (Yoh.15:16)  Merekalah yang membawa berita pengubahan yang berkuasa itu, dengan demikian maka di dunia ini,  kehidupan kembali terbit dan bersinar, selanjutnya hal itu hendak dibagi menjadi hidup bagi semua. 

Kegelapan hati dan pikiran, menyebabkan pertimbangan dan keputusan apapun yang diambil tidak pernah bisa mendatangkan kebaikan dan pengubahan.  Di situ dosa beranak cucu terus menerus sehingga manusia hidup tetap dalam kegelapan dan tidak satupun kuasa di dunia yang dapat membebaskan manusia kecuali kuasa terang hidup yang datangnya dari Tuhan Yesus.  Murid-murid yang sudah dihidupkan kembali oleh dan di dalam Terang itu, membawa hidup tersebut bagi dunia mereka saat itu dan melanda hidup kita di sini karena para kakek dan nenek kita telah membuka pintu hati dan pintu rumah mereka bagi Injil. Kini ketergantungan terhadap Adu Zatua telah berakhir, namun berhala baru muncul lagi yaitu ketergantungan terhadap perangkat teknologi dan alat-alat komunikasi cellular.

2.       Mengasihi musuh. (Mat. 5:43-48)  Permusuhan tidak dapat dibasmi dengan perlawanan dan pembalasan. Sebaliknya, permusuhan dapat dilenyapkan dengan kekuatan yang melebihi atau mengatasi  permusuhan tersebut  yaitu kuasa kasih.  Dalam dunia politik, susah menemukan standard lawan dan kawan, karena mental manusia pada kepentingan bisa berubah suatu saat, sehingga boleh jadi aktor politik tidak bisa jadi seorang yang ideal dan radikal, melainkan seorang yang oportunis dan terbiasa fleksibel terhadap semua keadaan. Hari ini lawan,   besok bisa berubah jadi kawan,  yang mengubah kondisi itu adalah kepentingan diri.   Yesus mengajarkan bahwa musuh harus dikasihi dan didoakan, dan hal itu pasti bisa  terwujud dalam diri orang yang memiliki hati dan jiwa yang siap dan suka mengampuni. Dengan demikian sudah dapat dipastikan bahwa yang akan terjadi ketika orang beriman melakukan kewajiban kasih dan kewajiban ibadah yaitu berdoa, yang dilandasi oleh kesadaran bahwa pembalasan adalah hak Allah.  Dengan mengampuni dan menerima maka terciptalah kesadaran untuk berubah pada orang yang membenci dan memusuhi kita.

3.       Menghormati dan tunduk kepada Pemerintah. (Mat. 17:24-27) Yesus mengajarkan Petrus supaya tidak menjadi batu sandungan terhadap pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan mereka, karena itu Ia menyuruh Petrus bekerja dan membayar pajak Bait Allah. Disiplin moral seperti ini tertanam dalam jiwa Paulus, sehingga ia mengajarkan jemaat Roma supaya tunduk dan taat kepada pemerintah Roma pada saat itu yang notabene bukanlah pengikut Kristus (Band. Roma 13)   Sesungguhnya, kuasa untuk memerintah adalah berasal dari Allah, mereka adalah hamba-hamba Tuhan bagi negaranya dan bagi daerahnya untuk mendatangkan kesejahteraan bagi rakyatnya.  Mereka bertanggung jawab secara vertikal kepada Allah atas kinerja dan etos kerja mereka.  LPJ mereka boleh saja diterima di dunia ini, namun bila ditolak di surga maka mereka pasti tidak mendapat mahkota kehidupan.

4.       Memberitakan Injil Kerajaan Allah. (Mark. 16:15)  Strategi untuk menata suatu dunia baru penuh damai dan jauh dari kekerasan,  terwujud dengan proklamasi berita sukacita yaitu Injil Kerajaan Allah. Setiap Gereja yang tidak memberitakan Injil tidak akan bertumbuh, setiap orang Kristen yang tidak memberitakan Injil, hidupnya gersang sekalipun ia dapat menikmati berbagai fasilitas hidup dari Tuhan.  Ada banyak orang Kristen yang sudah terdaftar menjadi warga jemaat di suatu Gereja, namun mereka masih belum menikmati hidup baru.  Keadaan itu sama dengan mati dan tidak berdaya.  Hidupnya dikendalikan oleh arus dan situasi, orang tersebut tidak mampu mengendalikan situasi, apalagi tidak mampu mengendalikan perubahan yang sedang terjadi.  Semakin banyak jumlah orang ini dalam masyarakat, maka program pembangunan yang bagaimanapun bagusnya oleh pemerintah, akan sukar berjalan dengan baik, sebaliknya bila jumlah ini semakin berkurang dari hari ke hari, maka program pengubahan masyarakat akan semakin berjalan dengan baik dan membuahkan hasil yang signifikan, maka terwujudlah dunia baru yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus.

C.      Menjadi Pelayan Yang hidup Bagi Perubahan.

Dalam pikiran saya, pelayan yang hidup itu adalah orang yang telah mendapatkan hidupnya yang baru dalam Kristus seperti diajarkan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di  Korintus.    (2 Kor.5:17)  Hidup yang lama yang dimilikinya bukan kebanggaan, tetapi suatu cela dan kerugian.  Karena itu tidak usah diceritakan menjadi suatu kesaksian, sering sekali kita mendengar demikian :  “na ya’ odo fōna mena’ō zimanō,  ba tola manō  uwa’ō he zo manō ihalō ia fa ono matua andre, ba hiza ia da’e ba uwaō tōdōgu lō hare khōnia”.  Mungkin tujuannya baik untuk menceritakan, tetapi di situ tanpa di sadari, iblis mencuri kesempatan dan berbisik melalui orang lain demikian : “tolonglah ceritakan sedikit saja seperti apa yang dulu itu”. Maksudnya coba ungkapkan kembali kelebihanmu, kehebatanmu waktu dulu, dan di situ tanpa disadari bahwa iblis telah berhasil membawa kita ke masa lalu yang gelap di mata Tuhan. Pelayan Tuhan adalah seorang yang telah berhasil melupakan apa yang berada di belakangnya dan mengarahkan dirinya kepada hal-hal yang di depannya (Fil.3:13) bahkan dengan komitmen yang utuh seorang hamba Tuhan/pelayan mampu mengevaluasi diri dengan menyadari bahwa keuntungan di masa lampau itu, sungguh merupakan kerugian di masa kini jika dibandingkan dengan keuntungan besar dalam Kristus yang telah disediakan dalam hidup menjadi hambaNya. (Fil. 3:7-8)

1.       Peran Gereja,  

         Peran Gereja bagi program Allah untuk perubahan merupakan mandat yang sudah baku, dan yang paling dikawatirkan apabila pemahaman akan mandat ini menjadi “beku”.  Karena itu Gereja perlu belajar untuk membawa misi perubahan. Dengan demikian pemahaman yang sudah baku tersebut menjadi dinamis.  Sembari belajar akan misi perubahan tersebut, Gereja justru diubah juga, karena Gereja bukan produk karya Roh Kudus yang sekali diciptakan langsung menjadi barang jadi dengan sendirinya, melainkan bangunan Allah yang terus-menerus dibaharui. Ecclesia Reformata Semper Reformanda artinya Gereja yang dibaharui akan terus-menerus diperbaharui.[5]   

          Gereja tidak hanya membutuhkan “Kebangunan Rohani” tetapi juga membutuhkan “Kebangunan Doktrinal” dan “Kebangunan Praktikal” sehingga semua aspek dari kedirian Gereja kita menjadi bangun dan bersinar.  Lalu semua kita dapat menemukan bahwa di dalam Gereja, lewat Gereja, dan oleh Gereja,  kita melihat dan menemukan secara jelas model perubahan yang dikehendaki Allah.

       Gereja harus menjadi mitra kerja bagi lembaga Pemerintah, lembaga Adat dan lembaga Pendidikan dalam mewujudkan perubahan, mereka tidak boleh saling menonton dan saling menyalahkan, tetapi saling mendoakan, saling memperhatikan, saling mengingatkan.   Gereja harus membawa dan mengaktualkan suara kenabian yang kritis, profetis, dinamis. Untuk itu Gereja juga harus membangun kehidupan rohani yang terbuka dan dialogis kepada mitra kerjanya yaitu pemerintah dan para tokoh adat dalam menunaikan misi  pengubahan tersebut.

2.       Peran Lembaga Pendidikan

    Kita sudah menerima secara umum bahwa fungsi lembaga pendidikan demikian sentral untuk mencapai perubahan yang logis dan fundamental.  Peran yang sudah terlihat berhasil dan sudah ditunaikan oleh lembaga pendidikan yang ada di tengah masyarakat kita selama ini, perlu dipacu dan diberi muatan yang semakin kompetifif.  Lembaga pendidikan kita betapapun sederhananya, perlu melahirkan pribadi-pribadi terpelajar yang memiliki potensi berdedikasi tinggi dan menjadi pemimpin di masa yang akan datang. Untuk itu perlu dipikirkan antara lain :

a.       Pendidikan yang disertai dengan pelatihan ketrampilan akan melahirkan tenaga kerja siap pakai bagi pembangunan daerah di berbagai sektor. Sekolah Menengah Kejuruan yang ada di daerah kita, tidak hanya menyelenggarakan pelatihan ketrampilan mengoperasikan computer dan perkantoran, tetapi juga bidang pertanian, peternakan, perkebunan dan kesehatan serta pariwisata perlu mendapat prioritas bagi program pengubahan yang berkesinambungan ke depan.

b.      Pendidikan Anti Korupsi perlu diberikan sedini mungkin mulai dari Sekolah Dasar hingga  di Sekolah Menengah Atas, supaya lahirlah generasi terdidik yang baru yang bermoral tinggi dan kualitas spiritual yang teruji dan terpuji jika kelak menjadi pemimpin.

c.       Pendidikan moral dan etika harus melahirkan generasi muda yang berdisiplin tinggi sebagai bahan dasar untuk menempah para pemimpin daerah dan pemimpin bangsa ke depan. Kualitas disiplin individu yang dimiliki sebagai hasil pembentukan lembaga sekolah mencitrakan kualitas penyelenggaraan pendidikan di daerah kita ini.

3.       Peran Pemerintah Daerah

Kita membutuhkan figur birokrat Pemerintah daerah Nias Utara yang capabel di bidang moral, mengasihi Tuhan lebih dari segalanya, berakar dalam pelayanan Gerejani dan pelayanan sosial kemasyarakatan, seorang pahlawan yang mampu mengajar rakyatnya membenci korupsi dan memiliki komitmen tinggi untuk membersihkan segala macam tindakan tersebut, mulai dari korupsi waktu hingga ke korupsi uang Negara dan uang yang seharusnya untuk rakyat.

Prof Sondang P.Siagian mengemukakan bahwa salah satu dampak dari perkembangan Ilmu pegetahuan dan teknologi  yaitu lahirnya paradigma baru dalam aktifitas penyelenggaraan pemerintah yang mengejawantah dalam berbagai bentuk seperti : keterbukaan, transparansi, semakin menonjolnya fungsi pengayoman dan bukan fungsi pengaturan serta terjadinya peralihan orientasi dari kekuasan, menjadi orientasi pelayanan[6].   Fungsi pengayoman dekat sekali pada tugas penggembalaan dengan modal dasarnya adalah iman yang tulus, kerendahan hati yang tumbuh secara wajar bukan karbitan, integritas yang teruji, wawasan berpikir yang komprehensip, semuanya menyatu dalam spiritualitas siap juang. Fungsi pengayoman ini pasti dimiliki oleh para calon birokrat kita yang mengakar dalam pelayanan Gerejani, karena mereka mampu memahami dengan baik prinsip penggembalaan umat yang menjadi konteks mayoritas kehidupan masyarakat di Nias utara ini.  Jadi Figur “ENONI” atau “PELAYAN”  sangat penting dan pasti mampu untuk itu. Masyarakat Nias utara harus mendukung secra moral dan spiritual tampilnya figur tersebut dan memperjuangkan hingga terwujud lewat kompetisi yang fair pada PILKADA yang akan datang.

Kita membutuhkan figur pemimpin daerah Nias utara yang mampu menggerakkan suatu tim,  yang akan  menghidupkan potensi perekonomian daerah dalam  berbagai sektor, selanjutnya berani dan mampu membuka akses untuk masuknya para investor dari luar daerah, setelah lebih dahulu diperhitungkan secara matang, tentang unsur potensi daerah yang manakah layak untuk dipromosikan kepada para investor tersebut.

Kita membutuhkan figur pemimpin daerah Nias Utara yang berkomitmen tinggi di bidang pemberdayaan kualitas SDM bidang pendidikan dan kesehatan, dan mampu menggerakkan kembali masyarakat kita untuk mengembalikan kewibawaan lembaga adat yang sudah mulai pudar akibat pengaruh modernisasi dan budaya globalisasi.

4.       Peran Lembaga Adat

        Prof. Dr. Sunyoto Usman dalam bukunya Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat mengemukakan bahwa di era globalisasi, Indonesia tidak hanya menghadapi persoalan-persoalan ekonomi dan politik, tetapi juga menghadapi kerapuhan tatanan kehidupan sosial yang berdampak serius pada sulitnya menemukan keunikkan kultural dalam suatu masyarakat.[7]

        Nilai-nilai budaya tradisional posisitif yang kita miliki, memang harus dapat dikembalikan dalam jiwa masyarakat kita terutama untuk generasi muda. Terdapat kesan bahwa kewibawaan para tokoh adat kita menjadi kaku dan tidak proggresif, akibat derasnya mental modernisme yang sudah melanda setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat desa terutama keluarga. Apresiasi kebebasan individu semakin melambung tinggi melampaui batas-batas norma adat dan agama.  Para tokoh adat kita hanya bisa geleng-geleng kepala dan tidak berdaya membendung moralitas tersebut.  Sebaiknya, kita perlu duduk bersama untuk berseminar, berdiskusi.  Setidaknya kita memiliki persamaan prinsip dan persepsi yang melangkah pada persamaan gerak, menuju upaya pemulihan atas krisis budaya tersebut.  Lenyapnya nilai-nilai budaya Fabanuasa, Fahasara dōdō, Falulu Fohalōwō, Fasumangeta, Fariawōsa, Famoni,  Fatomesa dll, berarti hilangnya identitas diri dan keunikkan kultur kita di Nias utara ini. Padahal unsur-unsur tersebut yang justru menjadi kekuatan tersendiri bagi kita dalam menyikapi perubahan yang sedang dan akan berlangsung. Kiranya hal ini menjadi perhatian serius dari kita bersama, dan bukan hanya perhatian sampingan.

5.       Peran Keluarga

        Keluarga sebagai unit sosial terkecil namun sentral dan menentukan,  karena di situlah tumbuh nilai-nilai keimanan yang tangguh, nilai nilai budaya yang kompetitif dalam masyarakat sekuler. Pembentukan konsep nilai-nilai budaya Fabanuasa, Fahasara dōdō, Falulu Fohalōwō, Fasumangeta, Fariawōsa, Famoni,  Fatomesa dll.  dimulai dalam keluarga. Pengejawantahan nilai-nilai iman dan nilai-nilai kebenaran yang dikhotbahkan dan diajarkan dari mimbar Gereja adalah dalam keluarga.  Tidak mungkin peran ini diserahkan oleh Suami kepada Isteri sebagai Ibu, demikian sebaliknya.  Ada atau tidak adanya kesepakatan mengenai siapa yang akan melaksanakan hal itu adalah menunjukkan ketidak berdayaan keluarga-keluarga kita menghadapi badai modernisasi.  Keutuhan setiap keluarga terancam punah, karena perhatian besar sedang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan kebutuhan ilmu dan kebutuhan iman diserahkan kepada lembaga pendidikan dan lembaga gereja.  Sesungguhnya kedua lembaga ini hanya memberi kebutuhan yang bersifat umum, sedangkan kebutuhan khusus bidang iman dan ilmu yang situasional harus diperlengkapi dalam keluarga.

Pemberdayaan keluarga menjadi unit yang tangguh di era ini membutuhkan perhatian serius pihak Gereja lewat pastoral konseling yang taktis, strategis dan metodologis.

 

      Artikel ini harus dibiarkan tanpa kesimpulan, karena forum kita inilah yang akan memikirkan kesimpulan.  Mungkin kesimpulan tidak terlalu penting karena yang sangat penting adalah respon  dan aksi. Tuhan Yesus memberkati

 

 


DAFTAR BACAAN

 

 

Gulō, W.              Benih Yang Bertumbuh Vol.13  (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1983   )

Ihalauw, Jhon,  Alternatif-Alternatif Strategi Untuk Mengadakan Perubahan Sosial Terencana, Dalam Laporan Latihan Pembinaan Kepemimpinan VII BINA DARMA (Salatiga : Bina Darma, 1983) hal.1-6  

Kruger, Muller. Sejarah Gereja Indonesia  (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1966)

Sanjaya, Wina.  Kurikulum dan Pembelajaran  (Jakarta  :  Kencana Prenada Media Group, 2009)

Siagian P. Sondang,  Manajemen Abad 21  (Jakarta   : Bumi Aksara, 2009)

Sanjaya, Wina.  Kurikulum dan Pembelajaran  (Jakarta  :  Kencana Prenada Media Group, 2009)

Usman, Sunyoto  Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta  : Pustaka Pelajar,

                                2010)

Zalukhu, Fotarisman (ed), TUNAIKAN TUGAS PELAYANAN (Bandung : Cita Pustaka, 2010)

Zega, Fan (ed) WaōWaō Duria Somuso Dōdō ba Danō Niha ( Gunung Sitoli  : PLPI, 1986 )



[1] Bandingkan Muller Kruger, Sejarah Gereja Indonesia  (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1966) hal 240, juga W. Gulō, Benih Yang Bertumbuh Vol.13  (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1983   ) hal. 10-11 dan   WaōWaō Duria Somuso Dōdō ba Danō Niha ( Gunung Sitoli  : PLPI, 1986 ) hal. 13

[2] WaōWaō Duria Somuso dōdō ba danō Niha, ( Gunung Sitoli  : PLPI, 1986 ) hal. 14-17

[3]  Bandingkan Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran  (Jakarta  :  Kencana Prenada Media Group, 2009) hal. 295

[4] Jhon Ihalauw,  Alternatif-Alternatif Strategi Untuk Mengadakan Perubahan Sosial Terencana, Dalam Laporan Latihan Pembinaan Kepemimpinan VII BINA DARMA (Salatiga : Bina Darma, 1983) hal.1-6  

[5] Band.  Etiknius Harefa, Memacu Perwujudan Misi BNKP Pasca Pemberlakuan Tata Gereja Baru  Dalam TUNAIKAN TUGAS PELAYANAN.  Kumpulan Refleksi yang diterbitkan dalam Rangka Persidangan Majelis Sinode BNKP ke 55 Tahun 2010 di Medan, Fotarisman Zalukhu (ed), (Bandung : Cita Pustaka, 2010) hal. 75-76

[6] Sondang P. Siagian,  Manajemen Abad 21  (Jakarta   : Bumi Aksara, 2009) halaman 4

[7] Sunyoto Usman,  Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta  : Pustaka Pelajar, 2010) halaman 3-4

MERAJUT REALITA (Chapter 2)

 

Chapter 2

JARUM YANG MENUSUK

DALAM PERJUMPAAN YANG REALITAS

(Keputusan Mutlak)

 

Maka dari dalam badai Tuhan menjawab Ayub: siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan? Bersiaplah engkau sebagai laki-laki Aku akan menanyai engkau supaya engkau memberitahu Aku. Dimanakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian. Apakah engkau hendak meniadakan pengadilanKu, mempersalahkan Aku supaya engkau dapat membenarkan dirimu? (Ayub 38:1-4; 40:3)

 

  1. Pengantar

Pandangan tentang Kitab Ayub mencakup konteks dan amanat serta tujuannya pasti mempengaruhi pada prinsip dan ciri teologis yang dikembangkan berdasarkan  kitab ini.

Sri Wismoady Wahono misalnya dalam bukunya Di Sini Kutemukan mengemukakan  pemahamannya bahwa kitab ini disusun oleh penulis atau redaktornya dengan sangat kreatif serta menyajikan mutu sastra yang indah dan sengaja, tetapi di dalam kitab ini disajikan masalah teologis yang berat, nampak dalam bentuk percakapan antara Ayub dengan teman-temannya.1   Kemudian S.Wismoady Wahono menilai bahwa “Kalau disimak lebih teliti maka jelas bahwa perdebatan itu sangat kurang meyakinkan”2, alasannya  nampak pada hubungan antara prolog dan epilog, demikian juga diskusi itu tidak teratur tanpa ujung pangkal, Wahono juga menemukan bahwa Ayub yang dikisahkan pada prolog nampak berbeda dengan Ayub yang dikisahkan dalam bagian utama kitab ini.3 Barangkali pandangan ini tidak terlepas dari penilaian dan penerimaan secara menyeluruh mengenai keabsahan kitab Ayub oleh penulis, dan hal itu juga berarti Wahono tidak dapat menerima bahwa Ayub pernah hidup dalam sejarah dan termasuk di dalamnya ada kesalahan, tidak konsekwen karena sajian dialog kurang meyakinkan.

F.L.Bakker salah sorang ahli sejarah menyatakan bahwa Ayub pernah hidup dalam sejarah,

“Ayub dan kawan-kawannya termasuk orang-orang dari zaman bapa-bapa leluhur, yang masih mengenal dan beribakti kepada Allah…………jadi oleh karena itu Ayub hidup di zaman dahulu sebelum Israel masuk ke Kanaan. Sejarahnya disusun seorang pujangga dalam bentuk puisi dengan tuntunan Roh Allah”4

 

Parlaungan Gultom melihat sesuatu yang lain dari apa yang diperdebatkan oleh para ahli mengenai pandangan mereka atas tujuan pemberitaan kitab Ayub. Pak Gultom mengemukakan bahwa kitab Ayub tidak memberikan jawaban yang pasti terhadap anggapan para ahli itu5. Selanjutnya dikemukakan bahwa “tujuan utama kitab kelihatannya adalah untuk menunjukkan bahwa hubungan yang benar di antara Allah dan manusia (dalam semua keadaan) didasarkan terutama pada kasih karunia Allah yang Mahakuasa dan respon manusia akan iman dan kepercayaan yang bersifat tunduk6

Perjumpaan dalam konteks tulisan ini adalah suatu pengertian yang secara khusus menjelaskan tentang pengalam hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah lewat penderitaan yang dialami. Menjadi sorotan pemikiran adalah “Bagaimana perjumpaan itu telah terjadi, dan bagaimana Kitab Ayub menyaksikannya”? kemudian “Apakah perjumpaan itu memberi makna penting atau memberi sumbangan bagi perkembangan pemikiran dan kedewasaan iman seseorang yang mengalaminya”?  Selanjutnya, dapatkah pengalaman rohani tersebut diaplikasikan pada kenyataan pengalaman seorang Kristen masa kini dalam menghadapi pergumulannya”?

          Bertitik tolak dari pikiran mengenai hubungan yang benar di antara Allah dengan manusia sebagaimana dikemukakan menjadi tujuan utama kitab Ayub, maka penulis berasumsi bahwa hubungan yang benar itu nampak pada konteks paragraf pasal 42 : 1-6  sebagai sebuah bentuk perjumpaan yang berbeda dengan keadaan sebelumnya, dan dapat disebut sebagai perjumpaan yang sejati, kemudian hubungan yang benar ini terealisasikan secara konkrit pada paragraf berikutnya yaitu ayat 7-17 karena itu penulis bermaksud melakukan sebuah pendekatan teologis kemudian mencoba membandingkan konsep perjumpaan sejati ini dengan Perjanjian Baru.

  1. Titik Tolak Perjumpaan Adalah Penyesalan

Ayub mengatakan “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu”.(42:6) Ucapan ini menjadi pangkal terbukanya suatu hubungan baru yang pasti dimulai dari kesadaran akan kesalahan dalam sikap dan ucapan yang pernah dilontarkan sebelumnya oleh Ayub. Sikap dan ucapan Ayub telah memperlihatkan bahwa  dia mengecam dan mencela  Allah  atas penderitaan yang dialaminya (pasal 39:35) 

Apakah alasan Ayub mencabut perkataannya? Pada paragraf ini nampak 3 hal yaitu:

a.    Sekarang Ayub tahu bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu dan

tidak ada rencanaNya yang gagal (ayat 2),

b.    Tanpa pengertian selama ini Ayub telah berkata-kata tentang hal-hal

       yang  sangat ajaib dan tidak diketahuinya (ayat 3b),

c.    Pengetahuan Ayub tentang Allah selama ini tidak lebih dari sekedar sebuah informasi dari orang lain (ayat 5a)

Dalam konteks percakapan dengan temannya Bildad (ps 8-10) kelihatan bagaimana dia memahami penderitaannya sebagai suatu perkara dalam hubungannya dengan Yahweh, Ayub mengatakan “Bila aku berseru, Ia menjawab, aku tidak dapat percaya bahwa Ia mendengar suaraku, Dialah yang meremukkan aku dalam angin ribut, yang memperbanyak lukaku dengan tidak semena-mena, yang tidak membiarkan aku bernafas tetapi mengenyangkan aku dengan kepahitan”. (ps 9:16-18) Di sini perkara itu dihadapkan pada Allah, lebih dari sekedar bahwa Allah membiarkan penderitaan menggerogoti Ayub tetapi menurutnya Allah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, padaNya ada kuasa dan ia telah menyerahkan hal itu ke dalam tangan orang fasik “kalau bukan Dia, oleh siapa lagi”? (ps 9:24). Dengan mencermati ayat 16-18 dan 30-31 kelihatannya Ayub telah dikuasai oleh pikiran yang pesimistis.

Kemudian Ayub terus mencela dan membantah pada Allah dengan mengatakan “Apakah untungnya bagiMu mengadakan penindasan, membuang hasil jerih payah tanganMu, sedangkan Engkau mendukung rancangan orang fasik” (ps 10:3) Dengan perasaan geram Ayub memahami kuasa Allah yang mutlak dan di dalamnya ia tidak dapat berkutik, lalu ia angkat bicara menentang Allah dengan emosi yang meluap-luap. Ayub tidak mengerti pertimbangan dan keputusan Allah atasnya sehingga ia berkata “Ingatlah, bahwa Engkaulah yang membuat aku dari tanah liat, tetapi Engkau hendak menjadikan aku debu kembali?”(ayat 9-10) Ayub melihat bahwa kehidupan yang benar atau berdosa  sama saja pada situasi seperti itu (band. ayat 14-17) lalu kesimpulannya pada bagian ini adalah penyesalan terhadap tindakan Allah atasnya dengan mengatakan: ”Mengapa Engkau menyebabkan aku keluar dari kandungan, lebih baik aku binasa, sebelum orang melihat aku”(ayat 18)

Dalam konteks pembicaraan dengan Zofar orang Naama (pasal 11-14) yang walaupun Ayub mengakui kekuasaan dan hikmat Allah, namun ia berusaha membela perkaranya di hadapan Allah (ps 13:3) dan pada ayat 18 Ayub mengklaim bahwa ia benar. Dalam konteks ini juga kelihatan sebuah perkembangan dalam pemahaman Ayub akan perbedaan yang hakiki antara manusia dengan Allah, ia berpikir bahwa manusia hanya bagaikan sekuntum bunga yang berkembang dan akan layu, seperti bayang-bayang (ps.14:2), tetapi dalam pengertiannya itu terselubung ketidak tahuan akan kekuasaan Allah sehingga pada kesempatan itu Ayub mencela “Masakan Engkau menunjukkan pandanganMu kepada orang yang seperti itu dan menghadapkan kepadaMu untuk diadili” (ayat 3) Dalam ukuran perimbangan manusia Ayub berpikir bahwa Allah tidak sudi melakukan hal itu atasnya.

Selanjutnya, dalam pembicaraan dengan Elifas (pasal 15-17) nampak bahwa Ayub mengeluh dengan perlakuan Allah hingga membuatnya makin pesimis, sampai ia mengatakan “Tetapi bila aku berbicara, penderitaanku tidak menjadi ringan, dan bila aku berdiam diri, apakah yang hilang dari padaku” (ps 16:6)  Jadi, sekali lagi Ayub merasa bahwa semuanya menjadi sia-sia, fakta telah menunjukkan bahwa Allah telah menyerahkan dirinya kepada orang lalim dan menjatuhkannya (ayat 11), Allah telah menggelisahkannya, menangkap dan membantingnya, serta merobek-robek hidupnya (ayat 11-14).

Perkembangan pemikiran Ayub semakin nampak dalam pembicaraan dengan Elifas pada pasal 22-24. Sahabatnya ini menganjurkan supaya dia bertobat (ps 22), dan sekalipun kelihatannya Ayub ingin membela diri di hadapan Allah (ps 24), namun di sana mulai kelihatan bahwa Ayub semakin menyadari kekeliruannya dan keMahakuasaan Allah atas hidupnya, di situ Ayub mengatakan bahwa Allah tidak pernah berubah, dan tidak dapat dihalangi oleh siapapun, Ia  akan menyelesaikan apa yang telah Dia tetapkan baginya, lalu Ayub merasa gemetar dan takut berhadapan dengan Allah (band. ps 24:13-15)

Tahapan perkembangan pemahaman Ayub ini semakin nampak pada pasal 28-30, tetapi pada pasal 31 kita masih menemukan pendirian Ayub yang mengaku tidak bersalah dalam hubungannya dengan orang lain hingga ia berani mengatakan apabila semuanya itu telah dilakukannya “maka biarlah bukan gandum, tetapi onak, dan bukan jelai tetapi lalang” (ps.31:40) Pernyataan ini tidak hanya dapat diartikan sebagai pembelaannya tetapi juga merupakan sumpah pembenaran dirinya di hadapan Allah.

Dari sikap dan ucapan yang sedikit telah diketengahkan pada pembahasan di atas, maka sangatlah berdasar ketika pada pasal 42:6 Ayub mengatakan bahwa ia mencabut semua perkataannya itu dan menyesal yang berarti bahwa ia memasuki dimensi pertobatan dan rindu memulai hubungan baru dengan Allah.

  1. Perjumpaan Ayub Dengan Allah

Perjumpaan Ayub dengan Allah terjadi dalam penderitaannya,  pemahamannya akan Allah dibentuk kembali sehingga terwujud suatu pemahaman ulang akan penderitaannya yang ditunaikan lewat penyesalan dan pertobatan.

Pada pasal 42:5b Ayub mengatakakan “tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” . Dalam konteks yang bagaimana seharusnya nampak bahwa Ayub telah dimungkinkan untuk menyaksikan bahwa ia mengalami perjumpaan  sejati dengan Allah sebagai suatu pengalaman yang konkrit baginya?

1.    Pengalaman dalam penderitaan mewujudkan renungan yang semakin berkembang dalam diri Ayub sebagai hamba Allah yang saleh (ps 1:8). Beberapa nats menunjukkan hal itu sekalipun terungkap dalam konteks perdebatan dengan sahabat-sahabatnya antara lain:  Ada kesadaran dan pengakuan bahwa hidup itu sementara (ps 7:7,17; 14:2), Allah itu Mahakuasa, Mahabijaksana penuh hikmat (ps 9:4 ; 12:16 ; 13:3 ; 28:1-28) Allah Maha mengetahui dan Maha Adil (ps 21:22), Ia tidak pernah berubah (23:13) Allah Maha Besar (26:1-14)

2.    Jawaban yang diberikan Allah kepada Ayub (ps 38-41) menghasilkan pemahaman yang memungkinkan hamba yang saleh itu mengalami perubahan pemahamannya tentang Allah secara baru. Jawaban kepada Ayub mengenai kemutlakkan dan ke Mahakuasaan Allah dalam segala pertimbangan dan keputusanNya nampak dalam dua tahap, pertama yaitu pasal 38-39. Jawaban ini memperlihatkan keMahakuasaan Allah atas ciptaan dan alam semesta. Firman Allah yang menantang ini dijawab Ayub dengan rendah hati pada pasal 39:37 demikian “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina, jawab apakah yang dapat kuberikan kepadaMu? Mulutku kututup dengan tangan”. Tahap kedua nampak dalam pasal 40 dan 41 yang memperlihatkan ke Mahakuasaan Allah atas hidup manusia. Selanjutnya Firman Allah ini dijawab oleh Ayub pada pasal 42:1-6 dan merupakan kesimpulan akhir yang di dalamnya menjadi nyata bahwa Ayub mengalami perjumpaan sejati dengan Allah dalam penghayatan akan penderitaan itu dan pemahamannya akan jawaban Allah atas kasus penderitaan yang dia alami..



1. Sri Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, Jakarta BPK.G.Mulia, 1987, halaman 227

2  Sri Wismoady Wahono, Ibid, hal. 227

3 Sri Wismoady Wahono, Ibid.  hal  228

4 F.L. Bakker,  Sejarah Kerajaan Allah, Jakarta BPK G.Mulia, Cet. 12, 2000, halaman 237 

 

5 Parlaungan Gultom Teologi Perjanjian Lama bagian II Ayub – Maleakhi , 1999, Yogyakarta STII Hal.2

6 Parlaungan Gultom  I  b  i  d   halaman 2

MERAJUT REALITA (Chapter 1)

 

MERAJUT REALITA

 

Chapter 1

KASIH SETIA ALLAH BENANG YANG TIDAK PERNAH PUTUS

 

Sebab Tuhan itu baik, kasih setiaNya untuk selama-lamanya

Dan kesetiaanNya tetap turun-temurun

Mazmur 100:5

 

Pemazmur mengumandangkan pujian bagi Allah atas kabaikanNya yang tiada terbandingkan  di dalam seluruh rangkaian sejarah Israel. Bangsa itu menyakiti hatiNya dari waktu ke waktu, berulangkali hal itu terjadi, namun dibalik seluruh amarah murkaNya atas dosa-dosa mereka, terselubung dan terbit kabaikanNya yang dahsyat yang sudah teruji dari waktu ke waktu. Walau demikian, kebaikan Tuhan seperti itu masih saja mendapat tanggapan miring bagi beberapa orang. Tuhan Allah mengasihi, membela, memaklumi, memberkati tiada hentinya umat pilihanNya itu.

Seseorang yang kurang memahami dinamika sejarah karya Allah bagi Israel ini menuduh Allah tidak adil,  namun sorga akan senantiasa mendengar dan acuh saja akan keberatan-keberatan seperti itu.  Tetapi sesungguhnya,  Allah tidak hanya membela memberkati dan mengampuni, namun juga Ia menghukum.

Dari hasil penelitian sejarah menunjukkan dua peristiwa politik paling memilukan dalam perjalanan sejarah Israel sebelum masa Perjanjian Baru yaitu : Pada tahun 722 sebelum Masehi, kerajaan Israel di utara berakhir dan rakyatnya dibuang ke Asyur, mengakibatkan Israel menjadi lenyap dari peta sejarah Timur Tengah kuno[1]. Dalam nubuatnya, nabi Yesaya mengecam raja Asyur sekalipun ia sudah memahami bahwa Allah yang sedang menjalankan pembelajaran yang sangat pahit itu kepada umatNya dengan membiarkan situasi politik saat itu berlaku saja diluar intervensiNya. Nabi mengatakan :

“Celakahlah Asyur, yang menjadi cambuk murkaKu, dan yang menjadi tongkat amarahKu. Aku akan menyuruhnya terhadap bangsa yang murtad, dan Aku akan memerintahkannya melawan umat sasaran murkaKu, untuk melakukan perampasan dan penjarahan, dan untuk menginjak-injak mereka seperti lumpur di jalan. Tetapi dia sendiri tidak demikian maksudnya dan tidak demikian rancangan hatinya, melainkan niat hatinya adalah memunahkan dan hendak melenyapkan tidak sedikit bangsa-bangsa” (Yes.10:5-7)

         

          Asyur telah menjadi mabuk kekuasaan dan nafsu keserakahan membinasakan bukan semata-mata Israel, melainkan bangsa-bangsa yang lain juga. Dengan sombongnya Asyur menyatakan lewat ekspansi itu bahwa Allah Israel adalah berhala yang tidak berdaya lagi seperti berhala yang lain.  Namun fakta pembalasan akan menjadi nyata kelak, demikian Yesaya menandaskan bahwa sesudah Allah melaksanakan  segala pekerjaan pembelajaran itu, maka Allah sendiri akan menghukum Asyur karena ketinggian hatinya itu (Yes.10:12). Benar ketika Paulus mengatakan bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28). Sangat disayangkan, baik Israel dan juga Asyur tidak memahami rancangan Allah pada saat itu.

Satu abad setelah itu, kerajaan Yehuda juga menemui ajalnya, riwayatnya berakhir. Tanah Yehuda diserbu oleh raja Nebukadnezar dari Babel, dan Yerusalem jatuh ke tangannya pada tahun 587 Seb.M. Zedekia raja Yehuda sangat terpaksa menyaksikan pembunuhan putera puterinya, sebelum matanya dibutakan dan dibuang ke Babel (2 Raja 25:6-7).



[1] Lihat R.B.Y. Scott, The Book Of Isaiah, Pasal 1-39 Dalam The Interpreter’s Bible,Jilid V (Nashville : Abingdon, 1956), hal. 56, juga seperti dikutip oleh Choan Seng Song, Allah Yang Turut Menderita, (Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 1990), hal 49

PENTATEUCH Article

 

 

 

 

MENUJU AKTUALISASI TEOLOGI PENTATEUCH

YANG KOMPREHENSIP

 

Oleh : Dr. Etiknius Harefa, MTh, MPd.K

 

 

 

Abstrak

 

Sering ditemukan bahwa umat Kristen memahami bahwa umat  Israel dalam panggung politik Palestina masa kini,  sama dengan Israel dalam Alkitab. Pemahaman ini akan semakin menjauhkan teologi dari Kebenaran yang Tekstual. Dengan pemahaman yang obyektif yaitu mempertimbangkan  Israel yang Historis, Israel yang Politis, dan Israel yang Agamis. Pertimbangan ini memungkinkan para teolog berhasil mengejawantahkan teologi Teks yang obyektif. dan orisinil. Kritik Sumber E-Y-D-P terhadap Pentateukh dapat ditelusuri sepanjang tidak melemahkan presuposisi dasar akan kewibawaan Alkitab secara universal. Kritik sumber tersebut dapat memberi informasi secara fungsional tentang posisi dan dinamika teologi Pentateuch, namun dapat melemahkan ketika kritik sumber diberi muatan filsafat eksistensial, bahkan cenderung menggugat keabsahan Alkitab.  Hanya dengan memahami secara obyektif kerygma kitab Pentateuch dalam bingkai kehidupan Israel dan otoritas Allah yang mutlak, maka teologi kita Pentateuch akan member kontribusi penting  bagi kewajiban dan panggilan Pewartaan, Pengajaran, dan Penggembalaan oleh Gereja kini dan di sini., dan Penggembalaan oleh Gereja kini dan di sini. 

 

            Kata kunci : Pentateukh, Teologi, Aktualisasi yang Komprehensip

 

A.    Pengantar

Teologia sebagai Refleksi konstruktif dan kritis atas Firman Allah mengharuskan terwujudnya pemikiran-pemikiran obyektif untuk menjawab kebutuhan Gereja di bidang :

Ø  Paedagogis dalam formulasi Didaskalia

Ø  Pewartaan dalam formulasi Homilia

Ø  Pastoralia dalam formulasi Metodologis

Dimensi berpikir ilmiah pada dasarnya terdiri dari :

ü  Berpikir Postulat dan Konsepsional

ü  Berpikir Intuitif, batiniah

ü  Berpikir Relasional-Konkrit[1]

Ketiga dimensi ini merupakan cakupan dan karakteristik berpikir teologi yang sangat mungkin membuka jalan bagi aktualisasi Teologi Pentateuch yang orisinil.

 

B.     Formasi Teks

  1. Teologi Naratif    :  Teologi Pentateuch  dapat ditelusuri secara obyektif pada kelima kitab Taurat (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan) menyajikan narasi-narasi yang kontinuitas, kontekstual, historikal.  Selain dari pada itu, kitab-kitab ini menyajikan teologinya masing-masing secara deskriptif dan prespektif. Berdasarkan realita yang demikian, maka pertanyaan-pertanyaan teologi yang obyektif akan muncul sbb :

a.       Apakah pesan teologi yang kontekstual dari narasi-narasi tersebut bagi Israel? Misalnya dengan membandingkan  2 tahapan narasi yang terdapat dalam Kitab Keluaran antara lain:

Ø  Narasi pasal 1 sd pasal 15

Ø  Narasi pasal 16 sd pasal 20

Untuk menemukan kontribusi pertanyaan ini dapat dibaca pada halaman 7-10 pada Diktat Kuliah bagian 2 di bawah sub topik  Perkembangan Teologi Keluaran Secara Literari[2]

b.      Selanjutnya, pesan-pesan teologis tersebut masih harus dideskripsikan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan yang bersifat Pengajaran, Pewartaan, dan Pembimbingan. Jadi, apakah kontribusi pengajaran, pewartaan, dan pembimbingan dari narasi-narasi tersebut bagi Gereja masa kini, dan selanjutnya bagaimana menemukan strategi metodologis oleh para teolog dalam rangka membawa pesan yang terkandung pada TEKS kepada KONTEKS kini dan di sini.

Suatu Contoh : Apabila dicermati bahwa narasi Keluaran pasal 1 sd pasal 15 berfokus pada salah satu pesan sentral yaitu : “BAHWA ORANG-ORANG MESIR AKAN MENGETAHUI BAHWA AKU ADALAH YAHWEH” Pesan ini terungkap secara berantai dalam pasal 7:5, pasal 8:22, pasal 9:14,16, pasal 10:1-2.

c.       Selanjutnya, berdasarkan contoh penemuan akan pesan teks pada poin b di atas, maka seorang teolog akan lebih dahulu bertanya secara kritis apakah pesan tersebut dapat memberi kontribusi pada Pengajaran, Pewartaan, dan Pembimbingan?  Dan  selanjutnya bagaimana menemukan strategi menyeberangkan pesan tersebut dalam konteks pelayanan masa kini.

  1. Teologi Konservatif  : Harap dimaklumi bahwa tidak selamanya hal-hal yang konservasi itu cenderung negatif (penggunaan kata ini dalam praktek sehari-hari cenderung dalam konotasi yang demikian). Tidak selalu dapat menolong apabila kita memahami dinamika teologi Israel selamanya konserfatif,  dalam konotasi yang demikian.  “Yudaisme”  misalnya membuka mata kita untuk melihat secara obyektif realitas agama dan iman Israel. Pemahaman yang baik akan hal ini menuntun kita memahami beberapa sisi yang turut menentukan lahirnya Yudaisme antara lain :

a.       Historical Culture Of Israel (Sejarah peradaban Israel) sejak lahirnya di panggung sejarah bangsa-bangsa.

b.      Kiprah dan dinamika eksistensi Israel sebagai suatu bangsa dalam konteks peradaban yang oleh kaum muslim mengatakan “zaman Jahiliyah”.

c.       Eksistensi Israel dalam merespon, menekuni, menghidupi tuntutan PERJANJIAN ALLAH pada mereka dari waktu ke waktu

 

Ketiga kutub realitas ini memungkinkan kita memahami sebuah teologi yang konserfatif dalam BEJANA KEHIDUPAN ISRAEL sebagai Umat Yahweh. Pikiran ini sangat mewarnai pertimbangan kita sebagai teolog dalam berteologi dengan matrik Teologi Pentateuch (Band. Diktat halaman 5 bagian ke 2)

  1. Teologi Biblis.   Disain berpikir secara biblika ditentukan oleh konsentrasi dan prespektif pada Kerygma dari kitab itu sendiri. Disain Kerygma kitab Pentateuch akan ditemukan lewat penelusuran secara obyektif, substansi berita itu pada lahan kehidupan Israel dalam hubungan mereka dengan Yahweh. Pertanyaan-pertanyaan teologis yang seharusnya muncul adalah :

a.       Apakah kerygma teologis dari narasi kitab Pentateuch dan apa formulasinya sehingga menjadi suatu kontribusi bagi Gereja?

b.      Apabila teologi Pentateuch dilihat dari sudut kebutuhan akan formulasi teologis, maka darimanakah formulasi itu harus dimulai? Karena kerygma kitab kejadian pada awalnya adalah “berita bagi orang Israel di Mesir” (Band. Diktat, halaman 5 bagian 2) sehingga fokus teologia Israel adalah “Keluaran” dan bukan “Penciptaan” maka formulasi berita harus dimulai dari lahirnya Israel.

Teologi Pentateuch dapat dirangkai dan disimpulkan berdasarkan matrik teologi yang terkandung pada kerygma kitab-kitab itu sebagai berikut :

Ø  Kejadian menyajikan teologi  Perwujudan kuasa Allah yang membentuk – mengubah – membaharui – memelihara – dan menyempurnakan (Hal.8 bag.1)

Ø  Keluaran menyajikan teologia Pribadi Yahweh dan kehadiranNya memberi keselamatan dalam kuasa, kekudusan dan kesetiaan.

Ø  Imamat menyajikan teologi Pendamaian dan Penebusan, Teologi Ibadah yang kontekstual dan vertikal dan horizontal

Ø  Bilangan menyajikan teologi Perjanjian yang responsif dalam nuansa tanggung jawab vertical dan horizontal. Kunci teologi ini terletak dalam kekudusan Allah

Ø  Ulangan menyajikan teologi rekonstruksi fakta perjanjian dan keselamatan secara historis yang dicirikan oleh penyetaan diri Allah dalam tindakanNya dalam peristiwa teofani.

(Band. Diktat bagian 2 halaman 1-29)

Unsur Penciptaan, Pemilihan, Providensia dan Pembebasan dalam teologi Pentateuch terpatri secara historis dalam Perjanjian yang menyejarah hingga pada penggenapannya.

 

C.    Pemikiran Aktualisasi

 

Pertama.  Pertimbangkanlah : Israel yang Historis, Israel yang Politis, dan Israel yang Agamis. Pertimbangan ini memungkinkan para teolog berhasil mengejawantahkan teologi Teks yang obyektif.  Sering sekali kita menemukan bahwa umat Kristen masa kini memahami Israel dalam panggung politik palestina masa kini,  sama dengan Israel dalam Alkitab. Pemahaman ini akan semakin menjauhkan teologi dari Kebenaran yang Tekstual. Dengan pemahaman yang obyektif, memungkinkan para teolog berhasil mengejawantahkan teologi Teks yang orisinil.

 

Kedua. Kedua unsur di atas melemahkan asumsi-asumsi hermeneutis untuk menemukan makna Kerygma bagi kontribusi Pewartaan, Pengajaran, dan Pembimbingan. Kritik Sumber E-Y-D-P dapat ditelusuri sepanjang tidak melemahkan presuposisi dasar akan kewibawaan Alkitab secara universal. Kritik sumber tersebut dapat memberi informasi secara fungsional tentang posisi dan dinamika teologi Pentateuch, namun dapat melemahkan ketika kritik sumber diberi muatan filsafat eksistensial, bahkan cenderung menggugat keabsahan Alkitab.  Hanya dengan memahami secara obyektif kerygma kitab Pentateuch dalam bingkai kehidupan Israel dan otoritas Allah yang mutlak, maka teologi kita Pentateuch akan member kontribusi penting  bagi kewajiban dan panggilan Pewartaan, Pengajaran, dan Penggembalaan oleh Gereja kini dan di sini., dan Penggembalaan oleh Gereja kini dan di sini.  

 

God Bless

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Etiknius Harefa, Materi Kuliah Teologia Perjanjian Lama bagian 1 (Medan : STT Paulus, 2009) halaman 5-6

[2] Ibid. halaman 7-10