Senin, 07 Desember 2020

Lebih Jauh Melihat Relasi Ayub Dengan ALLAH

 

TEOLOGIA PERJUMPAAN DALAM  KITAB AYUB

 

Oleh :

Pdt. Dr. Etiknius Harefa MTh

=============================================

 

Abstraksi

 

Perjumpaan dalam konteks ini adalah sebuah pengalaman spiritual dalam hidup mengasihi Allah.  Pribadi-pribadi tertentu memiliki penilaian tersendiri seperti layaknya teman-teman Ayub yang melihat penderitaan sahabat mereka dari prespektif masing-masing.  Apa dan bagaimana warna kacamata mereka memandangnya, maka demikianlah juga warna penilaian mereka terhadap Ayub.  Namun di mata Allah tidak demikian,  Ia memiliki suatu rencana yang hebat dan indah dalam diri Ayub.  Hal itu menjadi nyata setelah Ayub dipulihkan. Dari seluruh rangkaian pengalaman sukacita dan penderitaan dalam perjalanan hidup Ayub,  dinyatakan bahwa kesalehan merupakan kualitas dan wujud personalitas manusia yang taat, setia dan jujur serta terbuka kepada Allah. Ibadah merupakan seluruh eksistensi hidup yang tunduk dan mengasihi Allah. Hidup saleh bukan tanpa dosa, melainkan hidup di hadapan Allah dalam segala keberadaannya yang bersahaja dalam kefanaan

 

Kata kunci : Perjumpaan, Kesalehan, Hidup Mengasihi Allah.

 

 

  1. Pengantar

Pandangan tentang Kitab Ayub mencakup konteks dan amanat serta tujuannya pasti mempengaruhi pada prinsip dan ciri teologis yang dikembangkan berdasarkan  kitab ini.

Sri Wismoady Wahono misalnya dalam bukunya Di Sini Kutemukan memberi pemahamannya bahwa kitab ini disusun oleh penulis atau redaktornya dengan sangat kreatif serta menyajikan mutu sastra yang indah dan sengaja, tetapi di dalam kitab ini disajikan masalah teologis yang berat, nampak dalam bentuk percakapan antara Ayub dengan teman-temannya.1 Kemudian S.Wismoady Wahono menilai bahwa “Kalau disimak lebih teliti maka jelas bahwa perdebatan itu sangat kurang meyakinkan”2, alasannya  nampak pada hubungan antara prolog dan epilog, demikian juga diskusi itu tidak teratur tanpa ujung pangkal, Wahono juga menemukan bahwa Ayub yang dikisahkan pada prolog nampak berbeda dengan Ayub yang dikisahkan dalam bagian utama kitab ini.3 Kelihatannya pandangan ini tidak terlepas dari penilaian dan penerimaan secara menyeluruh mengenai keabsahan kitab Ayub oleh penulis, dan hal itu juga mengindikasikan bahwa Wahono tidak dapat menerima kalau Ayub pernah hidup dalam sejarah atas dasar ditemukannya redaksi yang tidak konsisten pada pemberitaan kitab ini sejauh menyangkut sajian dialog yang kurang meyakinkan.

F.L.Bakker sorang ahli sejarah Alkitab menyatakan bahwa Ayub pernah hidup dalam sejarah, “Ayub dan kawan-kawannya termasuk orang-orang dari zaman bapa-bapa leluhur, yang masih mengenal dan beribakti kepada Allah……jadi oleh karena itu Ayub hidup di zaman dahulu sebelum Israel masuk ke Kanaan. Sejarahnya disusun seorang pujangga dalam bentuk puisi dengan tuntunan Roh Allah”4

Parlaungan Gultom melihat sesuatu yang lain dari apa yang diperdebatkan oleh para ahli mengenai pandangan mereka atas tujuan pemberitaan kitab Ayub. Gultom mengemukakan bahwa kitab Ayub tidak memberikan jawaban yang pasti terhadap anggapan para ahli itu5. Selanjutnya dikemukakan bahwa “tujuan utama kitab kelihatannya adalah untuk menunjukkan bahwa hubungan yang benar di antara Allah dan manusia dalam dan untuk semua keadaan didasarkan terutama pada kasih karunia Allah yang Mahakuasa dan respon manusia akan iman dan kepercayaan yang bersifat tunduk6

Perjumpaan dalam konteks tulisan ini adalah suatu pengertian yang secara khusus menjelaskan tentang pengalaman hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah lewat penderitaan yang dialami. Menjadi sorotan pemikiran adalah “Bagaimana perjumpaan itu telah terjadi, dan bagaimana Kitab Ayub menyaksikannya”? kemudian “Apakah perjumpaan itu memberi makna penting atau memberi sumbangan bagi perkembangan pemikiran dan kedewasaan iman seseorang yang mengalaminya”? Selanjutnya, dapatkah pengalaman rohani tersebut diaplikasikan pada kenyataan pengalaman seorang Kristen masa kini dalam menghadapi pergumulannya”?

            Bertitik tolak dari pikiran mengenai hubungan yang benar di antara Allah dengan manusia sebagaimana dikemukakan menjadi tujuan utama kitab Ayub, maka penulis berasumsi bahwa hubungan yang benar itu nampak pada konteks paragraf pasal 42 : 1-6  sebagai sebuah bentuk perjumpaan yang berbeda dengan keadaan sebelumnya, dan dapat disebut sebagai perjumpaan yang sejati, kemudian hubungan yang benar ini terealisasikan secara konkrit pada paragraf berikutnya yaitu ayat 7-17 karena itu penulis bermaksud melakukan sebuah pendekatan teologis kemudian mencoba membandingkan konsep perjumpaan sejati ini dengan Perjanjian Baru.

  1. Titik Tolak Perjumpaan Adalah Penyesalan

Ayub mengatakan “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu”.(42:6) Ucapan ini menjadi pangkal terbukanya suatu hubungan baru yang pasti dimulai dari kesadaran akan kesalahan dalam sikap dan ucapan yang pernah dilontarkan sebelumnya oleh Ayub. Sikap dan ucapan Ayub telah memperlihatkan bahwa  dia mengecam dan mencela  Allah  atas penderitaan yang dialaminya (pasal 39:35) 

Apakah alasan Ayub mencabut perkataannya? Pada paragraf ini nampak 3 hal yaitu: a. Sekarang Ayub tahu bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencanaNya yang gagal (ayat 2), b.Tanpa pengertian selama ini Ayub telah berkata-kata tentang hal-hal yang sangat ajaib dan tidak diketahuinya (ayat 3b), c..Pengetahuan Ayub tentang Allah selama ini tidak lebih dari sekedar sebuah informasi dari orang lain (ayat 5a)

Dalam konteks percakapan dengan temannya Bildad (ps 8-10) kelihatan bagaimana dia memahami penderitaannya sebagai suatu perkara dalam hubungannya dengan Yahweh, Ayub mengatakan “Bila aku berseru, Ia menjawab, aku tidak dapat percaya bahwa Ia mendengar suaraku, Dialah yang meremukkan aku dalam angin ribut, yang memperbanyak lukaku dengan tidak semena-mena, yang tidak membiarkan aku bernafas tetapi mengenyangkan aku dengan kepahitan”. (ps 9:16-18) Di sini perkara itu dihadapkan pada Allah, lebih dari sekedar bahwa Allah membiarkan penderitaan menggerogoti Ayub tetapi menurutnya Allah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, padaNya ada kuasa dan ia telah menyerahkan hal itu ke dalam tangan orang fasik “kalau bukan Dia, oleh siapa lagi”? (ps 9:24). Dengan mencermati ayat 16-18 dan 30-31 kelihatannya Ayub telah dikuasai oleh pikiran yang pesimistis.

Kemudian Ayub terus mencela dan membantah pada Allah dengan mengatakan “Apakah untungnya bagiMu mengadakan penindasan, membuang hasil jerih payah tanganMu, sedangkan Engkau mendukung rancangan orang fasik” (ps 10:3) Dengan perasaan geram Ayub memahami kuasa Allah yang mutlak dan di dalamnya ia tidak dapat berkutik, lalu ia angkat bicara menentang Allah dengan emosi yang meluap-luap. Ayub tidak mengerti pertimbangan dan keputusan Allah atasnya sehingga ia berkata “Ingatlah, bahwa Engkaulah yang membuat aku dari tanah liat, tetapi Engkau hendak menjadikan aku debu kembali?”(ayat 9-10) Ayub melihat bahwa kehidupan yang benar atau berdosa  sama saja pada situasi seperti itu (band. ayat 14-17) lalu kesimpulannya pada bagian ini adalah penyesalan terhadap tindakan Allah atasnya dengan mengatakan: ”Mengapa Engkau menyebabkan aku keluar dari kandungan, lebih baik aku binasa, sebelum orang melihat aku”(ayat 18)

Dalam konteks pembicaraan dengan Zofar orang Naama (pasal 11-14) yang walaupun Ayub mengakui kekuasaan dan hikmat Allah, namun ia berusaha membela perkaranya di hadapan Allah (ps 13:3) dan pada ayat 18 Ayub mengklaim bahwa ia benar. Dalam konteks ini juga kelihatan sebuah perkembangan dalam pemahaman Ayub akan perbedaan yang hakiki antara manusia dengan Allah, ia berpikir bahwa manusia hanya bagaikan sekuntum bunga yang berkembang dan akan layu, seperti bayang-bayang (ps.14:2), tetapi dalam pengertiannya itu terselubung ketidak tahuan akan kekuasaan Allah sehingga pada kesempatan itu Ayub mencela “Masakan Engkau menunjukkan pandanganMu kepada orang yang seperti itu dan menghadapkan kepadaMu untuk diadili” (ayat 3) Dalam ukuran perimbangan manusia Ayub berpikir bahwa Allah tidak sudi melakukan hal itu atasnya.

Selanjutnya, dalam pembicaraan dengan Elifas (pasal 15-17) nampak bahwa Ayub mengeluh dengan perlakuan Allah hingga membuatnya makin pesimis, sampai ia mengatakan “Tetapi bila aku berbicara, penderitaanku tidak menjadi ringan, dan bila aku berdiam diri, apakah yang hilang dari padaku” (ps 16:6)  Jadi, sekali lagi Ayub merasa bahwa semuanya menjadi sia-sia, fakta telah menunjukkan bahwa Allah telah menyerahkan dirinya kepada orang lalim dan menjatuhkannya (ayat 11), Allah telah menggelisahkannya, menangkap dan membantingnya, serta merobek-robek hidupnya (ayat 11-14).

Perkembangan pemikiran Ayub semakin nampak dalam pembicaraan dengan Elifas pada pasal 22-24. Sahabatnya ini menganjurkan supaya dia bertobat (ps 22), dan sekalipun kelihatannya Ayub ingin membela diri di hadapan Allah (ps 24), namun di sana mulai kelihatan bahwa Ayub semakin menyadari kekeliruannya dan keMahakuasaan Allah atas hidupnya, di situ Ayub mengatakan bahwa Allah tidak pernah berubah, dan tidak dapat dihalangi oleh siapapun, Ia  akan menyelesaikan apa yang telah Dia tetapkan baginya, lalu Ayub merasa gemetar dan takut berhadapan dengan Allah (band. ps 24:13-15)

Tahapan perkembangan pemahaman Ayub ini semakin nampak pada pasal 28-30, tetapi pada pasal 31 kita masih menemukan pendirian Ayub yang mengaku tidak bersalah dalam hubungannya dengan orang lain hingga ia berani mengatakan apabila semuanya itu telah dilakukannya “maka biarlah bukan gandum, tetapi onak, dan bukan jelai tetapi lalang” (ps.31:40) Pernyataan ini tidak hanya dapat diartikan sebagai pembelaannya tetapi juga merupakan sumpah pembenaran dirinya di hadapan Allah.

Dari sikap dan ucapan yang sedikit telah diketengahkan pada pembahasan di atas, maka sangatlah berdasar ketika pada pasal 42:6 Ayub mengatakan bahwa ia mencabut semua perkataannya itu dan menyesal yang berarti bahwa ia memasuki dimensi pertobatan dan rindu memulai hubungan baru dengan Allah.

  1. Perjumpaan Ayub Dengan Allah

Perjumpaan Ayub dengan Allah jelas terjadi dalam penderitaannya.  Pemahamannya akan Allah dibentuk kembali sehingga dapat dikatakan bahwa dalam diri Ayub terwujud suatu pemahaman baru akan penderitaannya yang disikapinya  lewat penyesalan dan pertobatan.

Pada pasal 42:5b Ayub mengatakakan “tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” . Dalam konteks yang bagaimana seharusnya nampak bahwa Ayub telah dimungkinkan untuk menyaksikan bahwa ia mengalami perjumpaan  sejati dengan Allah sebagai suatu pengalaman yang konkrit baginya? Pertama yaitu: Bahwa pengalaman dalam penderitaan mewujudkan renungan yang semakin berkembang dalam diri Ayub sebagai hamba Allah yang saleh (ps 1:8). Beberapa nats menunjukkan hal itu sekalipun terungkap dalam konteks perdebatan dengan sahabat-sahabatnya antara lain:  Ada kesadaran dan pengakuan bahwa hidup itu sementara (ps 7:7,17; 14:2), Allah itu Mahakuasa, Mahabijaksana penuh hikmat (ps 9:4 ; 12:16 ; 13:3 ; 28:1-28) Allah Maha mengetahui dan Maha Adil (ps 21:22), Ia tidak pernah berubah (23:13) Allah Maha Besar (26:1-14)

Kedua Jawaban yang diberikan Allah kepada Ayub (ps 38-41) menghasilkan pemahaman yang memungkinkan hamba yang saleh itu mengalami perubahan pemahamannya tentang Allah secara baru. Jawaban kepada Ayub mengenai kemutlakkan dan ke Mahakuasaan Allah dalam segala pertimbangan dan keputusanNya nampak dalam dua tahap, pertama yaitu pasal 38-39. Jawaban ini memperlihatkan keMahakuasaan Allah atas ciptaan dan alam semesta. Firman Allah yang menantang ini dijawab Ayub dengan rendah hati pada pasal 39:37 demikian “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina, jawab apakah yang dapat kuberikan kepadaMu? Mulutku kututup dengan tangan”. Tahap kedua nampak dalam pasal 40 dan 41 yang memperlihatkan ke Mahakuasaan Allah atas hidup manusia. Selanjutnya Firman Allah ini dijawab oleh Ayub pada pasal 42:1-6 dan merupakan kesimpulan akhir yang di dalamnya menjadi nyata bahwa Ayub mengalami perjumpaan sejati dengan Allah dalam penghayatan akan penderitaan itu dan pemahamannya akan jawaban Allah atas kasus penderitaan yang dia alami..

Ketiga   Pada kenyataan ini diperlihatkan betapa jauhnya jarak antara pemahaman manusia dengan Allah, betapa tingginya kehendak Allah mengatasi perasaan yang terdapat dalam hati manusia, betapa baiknya Allah mengatasi segala kesalehan manapun yang pernah ada.

 

 

Dari seluruh rangkaian pengalaman sukacita dan penderitaan dalam perjalanan hidup Ayub,  dinyatakan bahwa kesalehan merupakan kualitas dan wujud personalitas manusia yang taat, setia dan jujur serta terbuka kepada Allah. Ibadah merupakan seluruh eksistensi hidup yang tunduk dan mengasihi Allah. Hidup saleh bukan tanpa dosa, melainkan hidup di hadapan Allah dalam segala keberadaannya yang bersahaja dalam kefanaan.

God bless

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



1. Sri Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, Jakarta BPK.G.Mulia, 1987, halaman 227

2  Ibid, hal. 227

3  Ibid.  hal  228

4 F.L. Bakker,  Sejarah Kerajaan Allah, Jakarta BPK G.Mulia, Cet. 12, 2000, halaman 237 

 

5 Parlaungan Gultom Teologi Perjanjian Lama bagian II Ayub – Maleakhi , 1999, Yogyakarta STII Hal.2

6 I  b  i  d   halaman 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar