Senin, 07 Desember 2020

Lebih Jauh Melihat Relasi Ayub Dengan ALLAH

 

TEOLOGIA PERJUMPAAN DALAM  KITAB AYUB

 

Oleh :

Pdt. Dr. Etiknius Harefa MTh

=============================================

 

Abstraksi

 

Perjumpaan dalam konteks ini adalah sebuah pengalaman spiritual dalam hidup mengasihi Allah.  Pribadi-pribadi tertentu memiliki penilaian tersendiri seperti layaknya teman-teman Ayub yang melihat penderitaan sahabat mereka dari prespektif masing-masing.  Apa dan bagaimana warna kacamata mereka memandangnya, maka demikianlah juga warna penilaian mereka terhadap Ayub.  Namun di mata Allah tidak demikian,  Ia memiliki suatu rencana yang hebat dan indah dalam diri Ayub.  Hal itu menjadi nyata setelah Ayub dipulihkan. Dari seluruh rangkaian pengalaman sukacita dan penderitaan dalam perjalanan hidup Ayub,  dinyatakan bahwa kesalehan merupakan kualitas dan wujud personalitas manusia yang taat, setia dan jujur serta terbuka kepada Allah. Ibadah merupakan seluruh eksistensi hidup yang tunduk dan mengasihi Allah. Hidup saleh bukan tanpa dosa, melainkan hidup di hadapan Allah dalam segala keberadaannya yang bersahaja dalam kefanaan

 

Kata kunci : Perjumpaan, Kesalehan, Hidup Mengasihi Allah.

 

 

  1. Pengantar

Pandangan tentang Kitab Ayub mencakup konteks dan amanat serta tujuannya pasti mempengaruhi pada prinsip dan ciri teologis yang dikembangkan berdasarkan  kitab ini.

Sri Wismoady Wahono misalnya dalam bukunya Di Sini Kutemukan memberi pemahamannya bahwa kitab ini disusun oleh penulis atau redaktornya dengan sangat kreatif serta menyajikan mutu sastra yang indah dan sengaja, tetapi di dalam kitab ini disajikan masalah teologis yang berat, nampak dalam bentuk percakapan antara Ayub dengan teman-temannya.1 Kemudian S.Wismoady Wahono menilai bahwa “Kalau disimak lebih teliti maka jelas bahwa perdebatan itu sangat kurang meyakinkan”2, alasannya  nampak pada hubungan antara prolog dan epilog, demikian juga diskusi itu tidak teratur tanpa ujung pangkal, Wahono juga menemukan bahwa Ayub yang dikisahkan pada prolog nampak berbeda dengan Ayub yang dikisahkan dalam bagian utama kitab ini.3 Kelihatannya pandangan ini tidak terlepas dari penilaian dan penerimaan secara menyeluruh mengenai keabsahan kitab Ayub oleh penulis, dan hal itu juga mengindikasikan bahwa Wahono tidak dapat menerima kalau Ayub pernah hidup dalam sejarah atas dasar ditemukannya redaksi yang tidak konsisten pada pemberitaan kitab ini sejauh menyangkut sajian dialog yang kurang meyakinkan.

F.L.Bakker sorang ahli sejarah Alkitab menyatakan bahwa Ayub pernah hidup dalam sejarah, “Ayub dan kawan-kawannya termasuk orang-orang dari zaman bapa-bapa leluhur, yang masih mengenal dan beribakti kepada Allah……jadi oleh karena itu Ayub hidup di zaman dahulu sebelum Israel masuk ke Kanaan. Sejarahnya disusun seorang pujangga dalam bentuk puisi dengan tuntunan Roh Allah”4

Parlaungan Gultom melihat sesuatu yang lain dari apa yang diperdebatkan oleh para ahli mengenai pandangan mereka atas tujuan pemberitaan kitab Ayub. Gultom mengemukakan bahwa kitab Ayub tidak memberikan jawaban yang pasti terhadap anggapan para ahli itu5. Selanjutnya dikemukakan bahwa “tujuan utama kitab kelihatannya adalah untuk menunjukkan bahwa hubungan yang benar di antara Allah dan manusia dalam dan untuk semua keadaan didasarkan terutama pada kasih karunia Allah yang Mahakuasa dan respon manusia akan iman dan kepercayaan yang bersifat tunduk6

Perjumpaan dalam konteks tulisan ini adalah suatu pengertian yang secara khusus menjelaskan tentang pengalaman hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah lewat penderitaan yang dialami. Menjadi sorotan pemikiran adalah “Bagaimana perjumpaan itu telah terjadi, dan bagaimana Kitab Ayub menyaksikannya”? kemudian “Apakah perjumpaan itu memberi makna penting atau memberi sumbangan bagi perkembangan pemikiran dan kedewasaan iman seseorang yang mengalaminya”? Selanjutnya, dapatkah pengalaman rohani tersebut diaplikasikan pada kenyataan pengalaman seorang Kristen masa kini dalam menghadapi pergumulannya”?

            Bertitik tolak dari pikiran mengenai hubungan yang benar di antara Allah dengan manusia sebagaimana dikemukakan menjadi tujuan utama kitab Ayub, maka penulis berasumsi bahwa hubungan yang benar itu nampak pada konteks paragraf pasal 42 : 1-6  sebagai sebuah bentuk perjumpaan yang berbeda dengan keadaan sebelumnya, dan dapat disebut sebagai perjumpaan yang sejati, kemudian hubungan yang benar ini terealisasikan secara konkrit pada paragraf berikutnya yaitu ayat 7-17 karena itu penulis bermaksud melakukan sebuah pendekatan teologis kemudian mencoba membandingkan konsep perjumpaan sejati ini dengan Perjanjian Baru.

  1. Titik Tolak Perjumpaan Adalah Penyesalan

Ayub mengatakan “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu”.(42:6) Ucapan ini menjadi pangkal terbukanya suatu hubungan baru yang pasti dimulai dari kesadaran akan kesalahan dalam sikap dan ucapan yang pernah dilontarkan sebelumnya oleh Ayub. Sikap dan ucapan Ayub telah memperlihatkan bahwa  dia mengecam dan mencela  Allah  atas penderitaan yang dialaminya (pasal 39:35) 

Apakah alasan Ayub mencabut perkataannya? Pada paragraf ini nampak 3 hal yaitu: a. Sekarang Ayub tahu bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencanaNya yang gagal (ayat 2), b.Tanpa pengertian selama ini Ayub telah berkata-kata tentang hal-hal yang sangat ajaib dan tidak diketahuinya (ayat 3b), c..Pengetahuan Ayub tentang Allah selama ini tidak lebih dari sekedar sebuah informasi dari orang lain (ayat 5a)

Dalam konteks percakapan dengan temannya Bildad (ps 8-10) kelihatan bagaimana dia memahami penderitaannya sebagai suatu perkara dalam hubungannya dengan Yahweh, Ayub mengatakan “Bila aku berseru, Ia menjawab, aku tidak dapat percaya bahwa Ia mendengar suaraku, Dialah yang meremukkan aku dalam angin ribut, yang memperbanyak lukaku dengan tidak semena-mena, yang tidak membiarkan aku bernafas tetapi mengenyangkan aku dengan kepahitan”. (ps 9:16-18) Di sini perkara itu dihadapkan pada Allah, lebih dari sekedar bahwa Allah membiarkan penderitaan menggerogoti Ayub tetapi menurutnya Allah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, padaNya ada kuasa dan ia telah menyerahkan hal itu ke dalam tangan orang fasik “kalau bukan Dia, oleh siapa lagi”? (ps 9:24). Dengan mencermati ayat 16-18 dan 30-31 kelihatannya Ayub telah dikuasai oleh pikiran yang pesimistis.

Kemudian Ayub terus mencela dan membantah pada Allah dengan mengatakan “Apakah untungnya bagiMu mengadakan penindasan, membuang hasil jerih payah tanganMu, sedangkan Engkau mendukung rancangan orang fasik” (ps 10:3) Dengan perasaan geram Ayub memahami kuasa Allah yang mutlak dan di dalamnya ia tidak dapat berkutik, lalu ia angkat bicara menentang Allah dengan emosi yang meluap-luap. Ayub tidak mengerti pertimbangan dan keputusan Allah atasnya sehingga ia berkata “Ingatlah, bahwa Engkaulah yang membuat aku dari tanah liat, tetapi Engkau hendak menjadikan aku debu kembali?”(ayat 9-10) Ayub melihat bahwa kehidupan yang benar atau berdosa  sama saja pada situasi seperti itu (band. ayat 14-17) lalu kesimpulannya pada bagian ini adalah penyesalan terhadap tindakan Allah atasnya dengan mengatakan: ”Mengapa Engkau menyebabkan aku keluar dari kandungan, lebih baik aku binasa, sebelum orang melihat aku”(ayat 18)

Dalam konteks pembicaraan dengan Zofar orang Naama (pasal 11-14) yang walaupun Ayub mengakui kekuasaan dan hikmat Allah, namun ia berusaha membela perkaranya di hadapan Allah (ps 13:3) dan pada ayat 18 Ayub mengklaim bahwa ia benar. Dalam konteks ini juga kelihatan sebuah perkembangan dalam pemahaman Ayub akan perbedaan yang hakiki antara manusia dengan Allah, ia berpikir bahwa manusia hanya bagaikan sekuntum bunga yang berkembang dan akan layu, seperti bayang-bayang (ps.14:2), tetapi dalam pengertiannya itu terselubung ketidak tahuan akan kekuasaan Allah sehingga pada kesempatan itu Ayub mencela “Masakan Engkau menunjukkan pandanganMu kepada orang yang seperti itu dan menghadapkan kepadaMu untuk diadili” (ayat 3) Dalam ukuran perimbangan manusia Ayub berpikir bahwa Allah tidak sudi melakukan hal itu atasnya.

Selanjutnya, dalam pembicaraan dengan Elifas (pasal 15-17) nampak bahwa Ayub mengeluh dengan perlakuan Allah hingga membuatnya makin pesimis, sampai ia mengatakan “Tetapi bila aku berbicara, penderitaanku tidak menjadi ringan, dan bila aku berdiam diri, apakah yang hilang dari padaku” (ps 16:6)  Jadi, sekali lagi Ayub merasa bahwa semuanya menjadi sia-sia, fakta telah menunjukkan bahwa Allah telah menyerahkan dirinya kepada orang lalim dan menjatuhkannya (ayat 11), Allah telah menggelisahkannya, menangkap dan membantingnya, serta merobek-robek hidupnya (ayat 11-14).

Perkembangan pemikiran Ayub semakin nampak dalam pembicaraan dengan Elifas pada pasal 22-24. Sahabatnya ini menganjurkan supaya dia bertobat (ps 22), dan sekalipun kelihatannya Ayub ingin membela diri di hadapan Allah (ps 24), namun di sana mulai kelihatan bahwa Ayub semakin menyadari kekeliruannya dan keMahakuasaan Allah atas hidupnya, di situ Ayub mengatakan bahwa Allah tidak pernah berubah, dan tidak dapat dihalangi oleh siapapun, Ia  akan menyelesaikan apa yang telah Dia tetapkan baginya, lalu Ayub merasa gemetar dan takut berhadapan dengan Allah (band. ps 24:13-15)

Tahapan perkembangan pemahaman Ayub ini semakin nampak pada pasal 28-30, tetapi pada pasal 31 kita masih menemukan pendirian Ayub yang mengaku tidak bersalah dalam hubungannya dengan orang lain hingga ia berani mengatakan apabila semuanya itu telah dilakukannya “maka biarlah bukan gandum, tetapi onak, dan bukan jelai tetapi lalang” (ps.31:40) Pernyataan ini tidak hanya dapat diartikan sebagai pembelaannya tetapi juga merupakan sumpah pembenaran dirinya di hadapan Allah.

Dari sikap dan ucapan yang sedikit telah diketengahkan pada pembahasan di atas, maka sangatlah berdasar ketika pada pasal 42:6 Ayub mengatakan bahwa ia mencabut semua perkataannya itu dan menyesal yang berarti bahwa ia memasuki dimensi pertobatan dan rindu memulai hubungan baru dengan Allah.

  1. Perjumpaan Ayub Dengan Allah

Perjumpaan Ayub dengan Allah jelas terjadi dalam penderitaannya.  Pemahamannya akan Allah dibentuk kembali sehingga dapat dikatakan bahwa dalam diri Ayub terwujud suatu pemahaman baru akan penderitaannya yang disikapinya  lewat penyesalan dan pertobatan.

Pada pasal 42:5b Ayub mengatakakan “tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” . Dalam konteks yang bagaimana seharusnya nampak bahwa Ayub telah dimungkinkan untuk menyaksikan bahwa ia mengalami perjumpaan  sejati dengan Allah sebagai suatu pengalaman yang konkrit baginya? Pertama yaitu: Bahwa pengalaman dalam penderitaan mewujudkan renungan yang semakin berkembang dalam diri Ayub sebagai hamba Allah yang saleh (ps 1:8). Beberapa nats menunjukkan hal itu sekalipun terungkap dalam konteks perdebatan dengan sahabat-sahabatnya antara lain:  Ada kesadaran dan pengakuan bahwa hidup itu sementara (ps 7:7,17; 14:2), Allah itu Mahakuasa, Mahabijaksana penuh hikmat (ps 9:4 ; 12:16 ; 13:3 ; 28:1-28) Allah Maha mengetahui dan Maha Adil (ps 21:22), Ia tidak pernah berubah (23:13) Allah Maha Besar (26:1-14)

Kedua Jawaban yang diberikan Allah kepada Ayub (ps 38-41) menghasilkan pemahaman yang memungkinkan hamba yang saleh itu mengalami perubahan pemahamannya tentang Allah secara baru. Jawaban kepada Ayub mengenai kemutlakkan dan ke Mahakuasaan Allah dalam segala pertimbangan dan keputusanNya nampak dalam dua tahap, pertama yaitu pasal 38-39. Jawaban ini memperlihatkan keMahakuasaan Allah atas ciptaan dan alam semesta. Firman Allah yang menantang ini dijawab Ayub dengan rendah hati pada pasal 39:37 demikian “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina, jawab apakah yang dapat kuberikan kepadaMu? Mulutku kututup dengan tangan”. Tahap kedua nampak dalam pasal 40 dan 41 yang memperlihatkan ke Mahakuasaan Allah atas hidup manusia. Selanjutnya Firman Allah ini dijawab oleh Ayub pada pasal 42:1-6 dan merupakan kesimpulan akhir yang di dalamnya menjadi nyata bahwa Ayub mengalami perjumpaan sejati dengan Allah dalam penghayatan akan penderitaan itu dan pemahamannya akan jawaban Allah atas kasus penderitaan yang dia alami..

Ketiga   Pada kenyataan ini diperlihatkan betapa jauhnya jarak antara pemahaman manusia dengan Allah, betapa tingginya kehendak Allah mengatasi perasaan yang terdapat dalam hati manusia, betapa baiknya Allah mengatasi segala kesalehan manapun yang pernah ada.

 

 

Dari seluruh rangkaian pengalaman sukacita dan penderitaan dalam perjalanan hidup Ayub,  dinyatakan bahwa kesalehan merupakan kualitas dan wujud personalitas manusia yang taat, setia dan jujur serta terbuka kepada Allah. Ibadah merupakan seluruh eksistensi hidup yang tunduk dan mengasihi Allah. Hidup saleh bukan tanpa dosa, melainkan hidup di hadapan Allah dalam segala keberadaannya yang bersahaja dalam kefanaan.

God bless

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



1. Sri Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, Jakarta BPK.G.Mulia, 1987, halaman 227

2  Ibid, hal. 227

3  Ibid.  hal  228

4 F.L. Bakker,  Sejarah Kerajaan Allah, Jakarta BPK G.Mulia, Cet. 12, 2000, halaman 237 

 

5 Parlaungan Gultom Teologi Perjanjian Lama bagian II Ayub – Maleakhi , 1999, Yogyakarta STII Hal.2

6 I  b  i  d   halaman 2

Refleksi Teologis Kitab Ester 4:16

 

 

KALAU TERPAKSA AKU MATI

BIARLAH AKU MATI

 

Refleksi Teologis atas Kitab Ester pasal 4:16

 

 

 

ABSTRAK

 

Hari Raya Purim merupakan salah satu dari hari Raya keagamaan Israel yang memiliki latar belakang sejarah penting pada bangsa itu. Perayaannya dilakukan tia-tiap tahun yaitu hari keempat belas dan kelimabelas bulan Adar atau pada bulan Pebruari-Maret, seperti disaksikan dalam Ester pasal 9:20-32 bahwa tekanan historis-teologis dari perayaan ini terletak pada hidup mensyukuri terbebasnya Israel dari musuh-musuhnya, dukacita berubah menjadi sukacita, hari perkabungan menjadi hari gembira, menjadi hari-hari perjamuan dan sukacita, saling mengantar makanan, hari bersedekah kepada orang-orang miskin (Est. 9:22) Pengenalan kita akan Israel purba dan konteks historis teologisnya turut diperkaya dengan informasi akan ibadah Purim yang menyejarah itu. Komitmen Ester untuk berjuang dengan sepenuh hati untuk keselamatan bangsanya merupakan sesuatu yang memberikan perbandingan terhadap komitmen teologis pada bangsa kita juga.

 

Kata kunci = Purim -  historis, Ibadah - komitmen

 

 

 

 

SENTIMEN ANTARA PEGAWAI TINGGI DENGAN

PEGAWAI RENDAH

 

Kitab Ester memberikan kesaksian tentang kehidupan bangsa Yahudi pada masa pemerinatahan Ahasyweros raja Persia yang memerintah pada tahun 485 – 465 Sebelum Masehi. Kekuasaan Ahasyweros sangat luas meliputi seratus dua puluh tujuh daerah mulai dari India sampai ke Etiopia (Est.1:1) Ester adalah seorang perempuan cantik terbukti juga dari namanya dalam bahasa Persia yaitu stara yang artinya bintang[1].  Dalam bahasa Ibrani nama itu disebut Hadasa (Est.2:7) yang artinya pohon murad[2].

Haman anak Hamedata seorang petinggi kerajaan Persia (3:2-3) yang berhasil mengambil hati raja Ahsyweros sehingga diangkat menjadi Perdana Menteri, dan ternyata menyimpan dendam terhadap Mordekhai karena Mordekhai sebagai seorang Yahudi tidak bersedia berlutut dan sujud menghormati Haman karena ia seorang Yahudi. Pada mulanya masalah ini hanya merupakan sentimen pribadi antara seorang pegawai tinggi dengan pegawai rendahan, tetapi justru semakin meluas menjadi sentimen terhadap etnis Yahudi. Demi untuk membalas dendamnya kepada Mordekhai, maka Haman sangat berambisi untuk melenyapkan semua orang Yahudi yang bermukim di seluruh wilayah pemerintahan Ahasyweros (3:5) karena menurutnya terlalu hina atau terlalu kecil baginya hanya membunuh seorang Mordekhai karena itu ia mempengaruhi mekanisme pengambilan keputusan pada tingkat yang tertinggi yaitu raja dan berhasil hingga keluar surat penetapan raja yang berisikan pemusnahan komunitas Yahudi tersebut (3:8-15).

Secara manusiawi setiap orang punya keinginan agar dekat dengan pusat kekuasaan seperti halnya Mordekhai yang berada dekat, dan semakin dekat dengan raja Ahasyweros.  Pada lazimnya masalah menjadi timbul ketika seseorang menggunakan cara-cara yang tidak terpuji untuk mendapatkan status dan hubungan kedekatan dengan pemimpin seperti yang biasa dikenal masyarakat kita dengan istilah “mengambil muka”, “angkat telur” dll. Apakah demikian halnya dengan Mordekhai? Hal ini perlu jelas mengingat  Mordekhai adalah orang yang paling penting memberi andil berharga dalam proses suksesnya Ester menjadi ratu.

Profesi Mordekhai sebagai pegawai rendah di lingkungan istana raja Ahasyweros adalah salah seorang penjaga pintu gerbang (2:21) pada keadaan sekarang, jabatan itu dapat disamakan dengan petugas Satpam.  Dia adalah seorang Yahudi yang ikut menjadi tawanan perang yang dibuang ke Babel oleh raja Nebukadnezar (2:6) Mordekhai dekat dengan pusat informasi kerajaan Persia, ia tahu kegalauan raja Ahasyweros yang telah menceraikan ratu Wasti karena tidak menghormatinya (1:12-22) Mordekhai  juga tahu bahwa pihak istana akan menyelenggarakan kontes ratu kecantikan yang bertujuan mencari pengganti ratu Wasti (2:2-4) dan sebagai orangtua angkat Ester yang mengasuhnya sejak kecil, Mordekhai rindu mengikut sertakan Ester pada kontes kecantikan tersebut, dan harapan yang sangat besar bahwa apabila Ester menjadi ratu penganti ratu Wasti, maka akan ada perhatian khusus dan kemudahan tertentu berkenan dengan status serta eksistensi orang Yahudi di seluruh wilayah kerajaan Persia. Dapat ditambahkan lagi bahwa hubungan keluarga antara Mordekhai dengan Ester sangat dekat yaitu saudara sepupu/bersaudara bapa (2:7) pada ayat ini dijelaskan kalau Ester adalah anak saudara ayahnya Mordekhai, tetapi karena Ester menjadi yatim piatu maka Mordekhai yang membesarkan Ester setelah kedua orangtuanya sudah tiada lagi bahkan  mengangkatnya menjadi anak.

Mordekhai juga seorang yang taat dan setia kepada raja, hal itu terbukti ketika ia berhasil menggagalkan rencana 2 orang pembantu raja untuk membunuhnya yaitu Baigtan dan Teresh (2:20) lalu melaporkannya kepada raja via Ester untuk dilakukan penyidikkan dan ternyata hal itu benar (2:22-23). Seketika kelihatannya imbalan atas kesetiaan Mordekhai tersebut belum kelihatan, tetapi beberapa waktu kemudian raja Ahasyweros baru menyadarinya (6:1-2) dan memutuskan memberikan penghargaan kepadanya melalui seorang musuh yang sangat membenci yaitu Haman. Benarlah kesaksian pemazmur yang mengatakan “Engkau menyediakan hidangan bagiku di hadapan lawanku, Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak, pialaku penuh melimpah” (Maz.23:5) Tuhan Allah punya cara memberikan kelimpahan kehormatan kepada orang yang hatinya tulus dan setia kepadaNya dalam segala perkara. Itulah yang diungkapkan oleh pemazmur dan hal itu terwujud dalam kehidupan Mordekhai.

 

ESTER : KOMITMEN DAN TINDAKANNYA

 

Tidak dapat dibayangkan dampak yang paling buruk dari keputusan politis tersebut, akan melenyapkan seluruh komunitas Yahudi dari muka bumi waktu itu. Kondisi yang demikian menjadi pergumulan berat Mordekhai sehingga ia berusaha menolong orang Yahudi sukunya sendiri melalui peran Ester yang ada di istana raja Ahasyweros. Ester juga sangat terbeban menggumuli persoalan ini dan ia memutuskan untuk mempertaruhkan segala potensinya termasuk nyawanya sendiri untuk berjuang membela kepentingan bangsanya. Para teolog berpendapat bahwa Ester sangat mengerti bahwa hidupnya berada di tangan Allah dan keadaan akan berubah menurut maksudNya bagi dia dan bangsanya[3]. 

Sebuah komitmen yang sangat mengagumkan, pernah diucapkan oleh seorang perempuan pada zamannya demikian: “Kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati” (Est. 4:16) tidak dapat digolongkan sebagai suatu pernyataan politis atau yang sejenis dengan itu, justru lebih tepat dikategorikan sebagai pernyataan solidaritas yang di dalamnya terkandung suatu komitmen yang menentukan eksistensi sebuah bangsa walau hanya merupakan suatu komunitas kecil di antara ratusan komunitas lain di wilayah pemerintahan Ahasyweros. Namun demikian komunitas ini tidak dapat dipandang sebelah mata atau dianggap rendah oleh siapapun.  Ada faktor tertentu yang membuat komunitas Yahudi yang ada di wilayah kekuasaan raja Persia perlu diperhitungkan bahkan disegani. Hal itu terbukti pada kedekatan Mordekhai dengan istana dan peran Ester sebagai ratu pada saat itu

Pokok renungan penting dalam kisah Ester ini memperlihatkan campur tangan Allah dalam memelihara kelangsungan umat pilihanNya dan membela mereka dari kekejaman musuh-musuh mereka. Sukar ditemukan ada pribadi yang mempertaruhkan kuasa dan posisi yang dimilikinya bagi kepentingan orang lain. Kenikmatan dan ketenteram diri yang dimiliki karena segala sesuatunya telah terpenuhi, cenderung membuat manusia menjadi pribadi yang individualistis dan tidak memperhatikan nasib orang lain, apalagi itu saudara se suku. Paulus berkata “sebab tidak mudah seorang mati untuk orang yang benar, tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati (Rom. 5:7) Pendapat Paulus tentang Yesus Kristus menghasilkan suatu pemahaman Kristologis yang istimewa dengan mengatakan bahwa Yesus telah mati untuk membenarkan orang-orang durhaka, Ia dihukum mati bukanlah karena kesalahanNya tetapi karena kesalahan orang lain.

Ester bukanlah seorang politisi karena tidak berasal dari suatu partai politik tertentu seperti lazim kita kenal, namun ia dekat sekali dengan puncak kekuasan politis pada saat itu ialah raja Ahasyweros, dan ia dapat melakukan sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakatnya yaitu komunitas Yahudi di benteng Susan dan kaum Yahudi yang bermukim di seluruh kerajaan Persia.

Lalu Ester meminta supaya seluruh masyarakat Yahudi melakukan doa dan puasa untuk dia, dan ia sendiri juga turut melakukan hal itu sebelum menghadap raja Ahasyweros. Ibdah puasa bagi bangsa Israel dilakukan pada hari tertentu seperti Hari Pendamaian (Im.16:29, 31 ; 23:27-32, Bil. 29:7) dalam bahasa Ibrani puasa adalah tsum  dan inna nafsyō yang artinya merendahkan diri dengan berpuasa, tidak makan dan minum selama waktu tertentu[4]. Keyakinan mendasar yang ada untuk melakukan ibadah puasa tersebut adalah kemurahan hati dan pertolongan Allah oleh kuasaNya yang akan membebaskan mereka dari rencana jahat Haman untuk memusnahkan mereka, dan keputusan yang telah diambil tersebut hanya mungkin dapat diubah dengan keputusan raja sendiri.  Karena itu Ester hendak menghadap raja untuk memperjuangkan hal ini, sekalipun hal itu disadari berlawanan dengan undang-undang yang sedang berlaku (5:16). Di kemudian hari peristiwa itu diperingati sepanjang sejarah dengan suatu perayaan yang disebut Hari Raya Purim (Est. 9:30-32)[5]

Doa puasa yang dilakukan itu berkenan kepada Tuhan, sehingga raja Ahasyweros berkenan menerima Ester untuk mengutarakan persoalan yang dialaminya dan dialami bangsanya. Tetapi supaya semuanya menjadi genap, maka harus dilakukan terlebih dahulu suatu acara penghormatan kepada Mordekhai atas jasanya menyelamatkan nyawa raja dari usaha pembunuhan. Dan eksekutor yang bertindak melaksanakan acara penghormatan dengan diarak keliling lapangan kota adalah Haman sendiri yang sudah bersiap untuk menghukum orang yang dihormati itu karena kebenciannya (6:6-11). Peristiwa ini telah menjadi pukulan berat bagi Haman atas rencananya yang jahat kepada Mordekhai dan sekaligus akan menjadi petunjuk bahwa rencananya untuk melenyapkan seluruh kaum Israel akan gagal juga. Mordekhai tidak langsung tenggelam dalam popularitas dan sanjungan lewat peristiwa itu, ia sadar semuanya dan akhirnya ia kembali pada pekerjaannya yang biasa (6:12)

Selanjutnya Ester langsung memberitahu kepada raja di hadapan Haman pada perjamuan yang diadakannya itu bahwa Hamanlah musuh yang bermaksud membinasakan orang Yahudi itu. Akhirnya raja sendirilah yang menyuruh mengeksekusi Haman di tiang gantungan yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh Haman sendiri untuk mengakhiri hidup Mordekhai. Beberapa alasan yang sangat masuk akal raja untuk menghukum Haman seberat itu adalah : Pertama, bahwa seluruh keburukkan hati Haman selama ini beserta dengan segala kecenderungan hatinya yang jahat itu telah ketahuan pada raja. Kedua, Raja juga ingin memberikan suatu kompensasi keadilan kepada mereka yang selama ini tertindas (orang Yahudi) di luar pengetahuannya. Ketiga, raja Ahsyweros tidak kuasa melawan gerak arus kuasa Tuhan yang mengendalikan pemerintahannya sehingga mungkin di luar kesadarannya, Allah telah bekerja mendatangkan kebaikan kepada orang Yahudi di wilayah pemerintahannya yang luas itu.

Dengan dieksekusinya Haman dan seluruh anak-anaknya maka berakhirlah kecemasan dan kegalauan umat Yahudi yang berdomisili di benteng Susan dan di seluruh wilayah kekuasan Persia pada saat itu, umat Yahudi di semua tempat juga melanjutkan pembersihan terhadap musuh-musuh mereka sehingga terdapat sebanyak tujuh puluh lima ribu orang musuh-musuh mereka di lenyapkan di seluruh wilayah itu (9:16).  Budaya perang dan budaya bunuh tidak dapat dinilai berdasarkan ketentuan yang dimiliki oleh semua negara yang ada di dunia pada abad ke 21, terlebih menyolok lagi jika hal itu dinilai berdasarkan Declaration of Human Right yang baru ada kemudian.  Hidup pada saat itu adalah berperang sebagai tindakan mempertahankan diri dari ancaman nyawa yaitu suatu pilihan yang harus diambil untuk dapat bertahan tetap hidup.

 

ESTER DAN POLITISI KITA

 

Bagi Ester kematian adalah sesuatu yang ada dalam keputusan Allah, Hanya Allah yang tahu dan berkuasa untuk itu.  Sebagai manusia Ester ingin hidup, namun ketentuan akhir mengenai matinya semuanya berada di tangan Yang Kuasa. Ester memilih mati untuk bangsanya apabila hal itu merupakan jalan akhir, lagi pula ia belum tahu pasti apakah permohonannya dapat dikabulkan atau tidak, tetapi oleh doa dan puasa yang dilakukan telah menggugah takhta Allah dan berkenan menggunakan.

Ester bukanlah seorang politisi dan tidak mewakili suatu konstituen tertentu, bahkan dapat dimengerti juga Mordekhai sendiri memesankan agar Ester tidak memberitahukan terlebih dahulu kebangsaannya dan asal usulnya ketika ia dipromosikan mengikuti kontes pemilihan ratu di Kerajaan Persia tersebut (2:10) dan hal itu dipatuhi oleh Ester.  Siang malam tentu ia hidup dalam kemewahan di istana raja dan punya seribu alasan untuk tidak mengurus dan memikirkan orang Yahudi yang lain di luar dirinya. Tetapi jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam telah tertanam dan bertumbuh rasa cinta akan bangsanya sendiri, walau mereka sendiri tidak memiliki andil apapun juga bagi terpilihnya Ester menjadi ratu. 

Pengalaman lain dapat dibandingkan ketika seorang calon wakil rakyat hendak meminta dukungan rakyat, menemui para pendukungnya yang dikenal dan mengenal dia, untuk dipilih dalam Pemilihan Umum dan akhirnya puji Tuhan berkat dukungan para konstituennya sang calon berhasil duduk di kursi terhormat yaitu kursi angota legislatif.  Tetapi keadaan menjadi terbalik oleh karena “sang dewan” tidak dapat berbuat sesuatu terutama untuk memenuhi janji kampanye yang diutarakannya pada waktu yang lalu, ia tidak mampu berjuang melakukan sesuatu bagi pengubahan nasib dan kehidupan masyarakat yang diwakilinya. Akhirnya masyarakat menjadi kecewa dan periode berikut tidak memilihnya lagi.

Seorang balon kepala daerah pergi berkeliling tempat dan desa-desa untuk mengutarakan kerinduannya memimpin daerah.  Seluruh pernyataan-pernyataan politis yang diutarakan pada saat kampanye adalah demi pengubahan nasib rakyat dan percepatan pembangunan. Puji Tuhan beliau terpilih dengan suara banyak dan duduk di kursi Kepala Daerah. Tetapi setelah memimpin daerahnya, ternyata menyelewengkan dana pembangunan dalam bentuk korupsi, akhirnya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menghabiskan sisa-sisa kehidupannya di dalam penjara. Sang KDH tidak mati bagi kepentingan rakyatnya, tetapi harus mati demi ambisinya mendapatkan kekayaan, mudah-mudahan sempat terima Yesus di penjara dan mendapat pengampunan, dan akhirnya mati dalam damai.

Menyimak fenomena ini, maka kerinduan akan bangkitnya tokoh-tokoh politisi baru yang memiliki citra Ester dalam kehidupan, semakin membara dalam kehidupan masyarakat kita. Ester telah menjadi tokoh panutan walaupun dengan peran yang sangat terbatas, namun mempunyai pengaruh besar yang sangat signifikan bagi kehidupan bangsanya saat itu.

 

 

KESIMPULAN

 

Ester bukanlah seorang politisi karena tidak berasal dari suatu partai politik tertentu seperti lazim kita kenal, namun ia dekat sekali dengan puncak kekuasan politis pada saat itu ialah raja Ahasyweros, dan ia dapat melakukan sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakatnya yaitu komunitas Yahudi di benteng Susan dan kaum Yahudi yang bermukim di seluruh kerajaan Persia.

Lalu Ester meminta supaya seluruh masyarakat Yahudi melakukan doa dan puasa untuk dia, dan ia sendiri juga turut melakukan hal itu sebelum menghadap raja Ahasyweros. Ibdah puasa bagi bangsa Israel dilakukan pada hari tertentu seperti Hari Pendamaian (Im.16:29, 31 ; 23:27-32, Bil. 29:7) dalam bahasa Ibrani puasa adalah tsum  dan inna nafsyō yang artinya merendahkan diri dengan berpuasa, tidak makan dan minum selama waktu tertentu[6]. Keyakinan mendasar yang ada untuk melakukan ibadah puasa tersebut adalah kemurahan hati dan pertolongan Allah oleh kuasaNya yang akan membebaskan mereka dari rencana jahat Haman untuk memusnahkan mereka, dan keputusan yang telah diambil tersebut hanya mungkin dapat diubah dengan keputusan raja sendiri.  Karena itu Ester hendak menghadap raja untuk memperjuangkan hal ini, sekalipun hal itu disadari berlawanan dengan undang-undang yang sedang berlaku (5:16). Di kemudian hari peristiwa itu diperingati sepanjang sejarah dengan suatu perayaan yang disebut Hari Raya Purim (Est. 9:30-32)[7]

 

 

 

Kepustakaan

 

Bakker, FL.  Sejarah Kerajaan Allah Jilid 1 PL  Jakarta : BPK. G. Mulia, 2000

Ensikolopei Alkitab Masa Kini (Jakarta : Yayasan Bina Kasih OMF, 2007)

Merril, Eugena H.  Teologi Dari Kitab Ezra-Nehemia dan Ester, Dalam A Biblical Theology of Old Testament,  Roy B. Zuck (ed)  Malang : Gandum Mas, 2005

Wahono, S. Wismoady,  Di Sini Kutemukan, Jakarta : BPK. Gunung Mulia 2000



[1] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid 1 (Jakarta : Yayasan Bina Kasih/OMF,2002) halaman 291

[2] Ibid. Halaman 291 

[3] Eugena H. Merril  Teologi Dari Kitab Ezra-Nehemia dan Ester, Dalam A Biblical Theology of Old Testament,  Roy B. Zuck (ed)  (Malang : Gandum Mas, 2005) halaman 364

[4] Ensikolopei Alkitab Masa Kini, halaman 280

[5] Bandingkan juga FL Bakker  Sejarah Kerajaan Allah Jilid 1 PL  (Jakarta : BPK. G. Mulia, 2000) Hal. 733

[6] Ensikolopei Alkitab Masa Kini, halaman 280

[7] Bandingkan juga FL Bakker  Sejarah Kerajaan Allah Jilid 1 PL  (Jakarta : BPK. G. Mulia, 2000) Hal. 733

HIBBAT ZION

 

 

MISI KONTEMPORER DALAM HIBBAT ZION

Refleksi Kerinduan akan Sion berdasarkan Mazmur 137

 

ABSTRAK

Walaupun Zionisme telah ditentang habis oleh para musuh Israel di seluruh dunia, tetapi bukti sejarah telah berbicara langsung kepada kita bahwa kehidupan Israel di panggung sejarah Palestina bukan khayalan atau mimpi sesaat, justru sebuah gerakan besar yang disebut hibbat zion telah mempersatukan bangsa itu di seluruh dunia  dan wujudnya adalah terbentuknya negara Israel yang menjadi perwujudan cita-cita ratusan bahkan ribuan tahun.  Tepatnya pada tanggal 14 Mei tahun 1948 berdirilah negara Israel di atas bumi Palestina. Perhatian besar terhadap gerakan misioner yang telah mempersatukan bangsa ini, menjadi sorotan teologis dalam tulisan ini, mengingat misi bagaikan aliran air kehidupan yang tidak pernah berhenti hingga lembaran sejarah ditutup oleh Yang Mahakuasa. Penelusuran akan akar dan eksistensi dari jiwa hibbat Zion  dimulai pada Mazmur pasal 137 dan relefansinya bagi konteks hidup umat Kristiani di Indonesia.

Kata kunci : hibbat Zion, misioner  kontemporer

Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan nyanyian, dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita: "Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion!" Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian TUHAN di negeri asing? Jika aku melupakan engkau, hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku! Biarlah lidahku melekat pada langit-langitku, jika aku tidak mengingat engkau, jika aku tidak jadikan Yerusalem puncak sukacitaku! Ingatlah, ya TUHAN, kepada bani Edom, yang pada hari pemusnahan Yerusalem mengatakan: "Runtuhkan, runtuhkan sampai ke dasarnya!"Hai puteri Babel, yang suka melakukan kekerasan, berbahagialah orang yang membalas kepadamu perbuatan-perbuatan yang kaulakukan kepada kami! Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu! (Maz. 137)

Hibbat Zion  dalam bahasa Ibrani artinya “Cinta Zion” merupakan suatu ideologi dan gerakan yang bertujuan mewujudkan kebangkitan nasional bangsa Yahudi dan mendirikan negara Israel di Palestina. Gerakan ini menggali sebagian besar ideologinya pada nilai-nilai dasar tradisi Yahudi yang muncul dalam situasi dikucilkan, dan rindu untuk datangnya masa pembebasan, dan juga terdapat ikatan emosional keagamaan dan spiritual dengan tanah Palestina[1]. Ideologi dan gerakan Hibbat Zion ini lahir dari pengalaman pahit bangsa Yahudi di seluruh dunia yang terpencar-pencar akibat penguasaan raja Babel, raja Persia, dan Kekaisaran Rumawi atas mereka selama periode ratusan bahkan ribuan tahun. Adalah menarik bahwa sejarah Israel tidak dapat lenyap begitu saja dari panggung sejarah dunia ini, tetapi selalu saja bangkit lagi, dan menjadi suatu keajaiban khusus karena bangsa ini tidak lenyap begitu saja oleh keganasan imperialisme negara-negara yang menaklukan mereka, mungkin ada faktor lain yang perlu ditelusuri hingga pada akar sejarah. Dengan menelusuri kandungan filosofi Hibbat Zion penulis yakin sebagaian dari rahasia tersebut dapat diungkapkan kepada kita.

Menempatkan Hibbat Zion dalam kerangka Misi membutuhkan penjelasan ringkas mengenai sejarah kehidupan bangsa Yahudi yang telah dibagi oleh Prof. Garry M. Burge dalam bukunya berjudul Palestina Milik Siapa? mendeskripsikan 3 periode dalam sejarah Israel sebagai berikut :

  1. Periode Alkitab yang berada dalam rentangan waktu dari tahun 2000 sebelum Masehi hingga tahun 324.
  2. Periode Abad Pertengahan yang berada dalam kurun waktu tahun 324 Masehi hingga tahun 1918
  3. Periode Modern dalam kurun waktu tahun 1918 hingga sekarang[2]

 

Pada periode sekitar 2000 hinga 1000 tahun sebelum Masehi itu merupakan periode awal pada sejarah bangsa ini. Suku keturunan Abraham bermigrasi dari Mesopotamia (Irak) ke tanah Kanaan yang merupakan bagian dari provinsi Mesir[3]. Selanjutnya Yakub bersama dengan 12 anaknya bermigrasi ke Mesir dan menetap di sana lebih dari 400 tahun. Kemudian Musa memimpin bangsa ini kembali ke Kanaan dan selanjutnya Yosua yang memimpin mereka masuk ke Kanaan sebagai tanah perjanjian berdasarkan Kejadian pasal 12 dan pasal 15: 7 dan 18-21. 

Periode 1000 hingga 538 sebelum Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan Israel yang dipimpin oleh Saul, selanjutnya menjadi Israel raya pada masa pemerintahan Daud dan Salomo, dan sesudah pemerintahan Salomo kerajaan ini menjadi terpecah dua sebagai akibat dari tidak terdapat kesesuaian pendapat antara rakyat Israel dengan Rehabeam putra raja Salomo (1 Raj. 12:1-24 dan 2 Taw. 10:1-19)  yaitu kerajaan Utara yang terdiri dari 10 suku berpusat di Samaria dan kerajaan Selatan yang kemudian disebut Yehuda terdiri dari 2 suku berpusat di Yerusalem.

Selanjutnya pada tahun 721 sebelum Masehi kerajaan Israel itu ditaklukkan oleh Asyur dan kerajaan selatan yaitu Yehuda ditaklukkan oleh Nebukadnezar dari Babel pada tahun 586 sebelum masehi, hal ini sesuai pula dengan nubuat nabi Yeremia 25:1-14. Kerajaan Israel dan Yehuda tersebut hancur lenyap, namun demikian perlu diperhatikan bahwa hancurnya negara Yahudi tidak berarti Yudaisme juga turut hancur. Merrill C. Tenney mengatakan bahwa “Pada kenyataannya, paham Yudaisme ortodoks justru lahir dan berkembang pada masa pembuangan itu.  Banyak di antara mereka yang dibuang membawa kitab Taurat dan kitab para nabi yang mereka anggap sebagai kitab suci mereka dan meskipun mereka tidak dapat mempersembahkan korban di Bait Suci, namun mereka tetap menyembah Allah[4]. Rupanya kepahitan hidup masa pembuangan itu sembari menjalani pembelajaran berharga dari Allah sendiri, telah menghasilkan pemahaman akan jati diri secara fundamental pada bangsa Yahudi ini

Selanjutnya kerajaan Persia menaklukkan Babel dan dibawah pemerintahan Koresy tawanan yang diangkut ke Babel itu diperbolehkan kembali ke tanah airnya yaitu Yerusalem. Kebijakan ini mencakup pemberian izin bagi banyak orang yang dibawa dalam pembuangan oleh orang Babel untuk kembali ke negeri mereka dan membangun kembali rumah-rumah ibadah mereka, walau demikian izin yang demikian menuntut adanya kesetiaan terhadap kekuasaan Media-Persia sehingga walaupun Israel dikembalikan ke negeri mereka, namun Israel tetap tidak mempunyai raja dan harus tunduk pada imperium Media-Persia[5]

 Selanjutnya Aleksander Agung menaklukkan timur tengah setelah mengalahkan Persia pada tahun 333 sebelum Masehi dan menguasai Israel dan menjadikannya sebagai bagian dari kekaisaran Yunani selama 150 tahun[6]. Kemudian pada kurun waktu tahun 164 hingga tahun 63 sebelum Masehi terbentuklah kerajaan Yahudi Hasmoni yang ditandai dengan kemenangan pasukan Yahudi atas Yunani dan Gary M. Burge mengatakan bahwa kerajaan Yahudi ini terbentuk pertama kali sejak pemerintahan monarkhi masa Perjanjian Lama[7] Tetapi kerajaan tersebut  tidak dapat bertahan lama oleh karena mengalami konflik internal.

Selanjutnya bangsa Romawi yang menaklukkan seluruh daerah di timur tengah sekitar seabad sebelum Yesus lahir (tahun 63 sebelum Masehi) dan setelah kemenangan Pompeyus pada tahun tersebut, maka Roma telah menyatakan Yudea sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya dan menganggap Herodes dan para imam berada di bawah pemerintahannya[8]. Tetapi daerah Yudea sebagai salah satu provinsi pada kekaisaran Romawi ini menimbulkan berbagai konflik yang tidak cukup memberikan keadaan yang kondusif bagi pemerintahan Roma. Ada serentetan pemberontakan kaum Yahudi kepada pemerintah Roma yang sudah dimulai pada tahun 66 masehi terjadi di beberapa kota, pasukan Romawi dibantai oleh para pemberontak Yahudi[9]. Akhirnya pada musim semi tahun 70 Jenderal Titus melancarkan serangan besar-besaran atas Yerusalem dan kota itu akhirnya jatuh sepenuhnya dalam kekuasan Roma, tembok kota itu dihancurkan dan pintu gerbangnya di bakar, demikian juga Bait Allah yang dibangun Herodes itu dibakar habis menjadi rata dengan tanah.  

Dalam peristiwa penghancuran Yerusalem ini tergenapi nubuat Yesus dalam Matius 24:1-2, Markus 13:1-2 dan Lukas 21:5-6. Dan walaupun Titus tidak memerintahkan demikian, namun Bait Allah dibakar, rakyat dibantai atau dijual sebagai budak dan seluruh kota diratakan dengan tanah[10]. Sejak peristiwa itu seperti dikemukakan oleh Burge bahwa banyak orang Yahudi yang berpindah dan membentuk komunitas-komunitas Yahudi di seluruh dunia antara lain: Eropah, Afrika Utara, dan berbagai daerah di Timur Tengah[11]. John Walvoord menyebut peristiwa ini sebagai perserakan yang ketiga dan terakhir dan membuktikan kebenaran nubuat Yesus dalam Lukas 21:20-24, peristiwa yang sangat menyedihkan terjadi penganiayaan berat dan pembunuhan pulihan ribu orang Israel[12]. Sejak saat itu kedaulatan Israel di atas tanah Palestina menjadi hilang walaupun Yudaisme masih saja tetap hidup dimana mereka berada sebagai kaum pendatang di negeri yang ada di seluruh dunia.

EKSISTENSI HIBBAT ZION BERDASARKAN MAZMUR 137

Dalam penjelasannya, Marie Claire Barth & B.A. Pareira menjelaskan bahwa Mazmur 137 ini  yang seluruhnya dikutip di atas pasti berasal dari periode sesudah pembuangan dan jemaah yang menyanyikan Mazmur ini pasti mengalami sendiri peristiwa pembuangan itu[13]  Berdasarkan penjelasan latar belakang munculnya Mazmur 137 maka selanjutnya uraian bagian ini hendak mengetengahkan suatu gambaran tentang perkembangan dan dinamika Hibbat Zion  selama kaum Yehuda Israel ada dalam pengalaman pahit selama beberapa dekade sejarah hingga pada saat berdirinya negara Israel di Palestina 14 Mei tahun 1948.

Kecintaan terhadap Sion atau Yerusalem merupakan pokok yang perlu ditelusuri mengingat bahwa dalam Mazmur 137 ini seperti dikemukakan oleh MC. Barth mengandung ungkapan cinta yang luar biasa besar dan kuatnya terhadap Yerusalem, bahkan melebihi kandungan Mazmur pasal 84 dan 122 yang juga mengungkapkan kecintaan kaum Yahudi terhadap Bait Allah[14]

“Di tepi sugai-sungai Babel di sanalah kita duduk sambil menangis apabila kita mengingat Sion” (ayat 1).  Nyanyian ini mengungkapkan bahwa di dalam penderitaan yang mendalam suku Yehuda yang berada di pembuangan Babel, persisnya di tepi sungai Kebar yang dekat dengan pemukiman orang Yahudi di Babel seperti dikemukakan dalam Yehezkel 1:1 dan pasal 3:15 bahkan Yehezkiel sendiri pernah berada bersama dengan orang buangan di tepi sungai itu selama tujuh hari, dan selanjutnya menerima penglihatan-penglihatan berkenan dengan panggilannya sebagai penjaga Israel untuk bangsanya di pembuangan itu.  Biasanya kecapi itu dimainkan dengan penuh sukacita, akan tetapi dalam syair ini kecapi itu justru digantung di dahan pohon-pohon gandarusa sejenis pohon yang tumbuh di rawa-rawa pinggir sungai (ayat 2). Tekanan utama ayat ini adalah suasana sedih, menangis, merenung ketika orang-orang Yehuda teringat kembali kepada  Sion.

Pada syair ini ingatan terhadap orang-orang Babel yang melukai hati dan perasaan para buangan itu dihidupkan kembali dan bisa saja pemazmur bertujuan supaya ingatan terhadap hal ini dapat hidup sepanjang sejarah, dengan tujuan supaya Israel tidak mengulangi perbuatan-perbuatan yang membuat Allah murka terhadap mereka. Para penawan yang menyiksa mereka itu meminta supaya  mereka dapat memperdengarkan nyanyian Sion, bukan kerena mereka merindukan dan menginginkan nyanyian itu, tetapi mengejek, dan hanya menambah kepedihan supaya kaum Yahudi semakin merasa terpuruk karena mereka jauh dari tanah leluhur mereka. Jadi hal itu dapat dikategorikan juga sebagai penyiksaan mental yang dialami oleh umat Yahudi di pembuangan itu.

Dalam Kitab Mazmur terdapat beberapa pasal yang khusus menjadi nyanyian Sion seperti pasal 46:1-12 suatu nyanyian yang memuji kota Allah yaitu Yerusalem, Allah berada di kota itu, melindungi umatNya dan menolong mereka dalam peperangan, pasal 48 yang juga mengungkapkan keluhuran dan kebesaran Allah di Sion sebab Ia telah memperkenalkan diriNya sebagai benteng yang teguh bagi umatNya. Selanjutnya pasal 122 ini mengungkapkan sentralitas Yerusalem sebagai tumpuan umat untuk berziarah dan tempat mengharapkan akan datangnya kesejahteraan bagi umat Tuhan.  Nyanyian ziarah Daud ini mengandung suatu keyaknan bahwa Yerusalem dan Bait Allah merupakan tumpuan harapan semua orang mendapatkan berkat-berkat kedamaian, keadilan  dan kesejahteraan. Inilah sebabnya mengapa suku-suku Israel selalu merindukan Sion, kota Allah yang kudus dengan Bait Allahnya yang megah dan diimani sebagai faktor menerima berkat keadilan, kesejahteraan, keluhuran dan kebesaran di masa kini dan akan datang.

Di abad-abad kemudian sesudah peristiwa sejarah dalam Perjanjian Lama, kita dapat menemukan bahwa nampaknya Hibbat Zion  ini dapat mencerminkan sebuah kesetiaan yang berlangsung sepanjang dinamika sejarah atau dapat disebut sebagai kesetiaan dari waktu ke waktu yang tidak pernah habis dan berhenti.. Hibbat Zion tidak berhenti hanya pada masa Perjanjian Lama, tetapi berlanjut terus dalam kehidupan bangsa ini, bahkan ketika mereka sudah tidak punya tanah air lagi dan berada sebagai perantau di negeri orang. Hibbat Zion  akan terus hidup dan berkumandang selama hayat dikandung badan pada orang Israel atau selagi mereka ada maka filosofi ini akan senantiasa ada. Penderitaan dan tekanan yang mereka alami tidak dapat mengubur kecintaan mereka terhadap Sion kota Allah.

 Israel ditindas di berbagai negara, terutama di masa kekuasaan Nazi Jerman oleh Hitler, namun mereka tetap tidak lenyap. Gerakan Hibbat Zion pad awal tahun 1860 tidak terlepas dari kondisi ini. Prof Jacob Katz mengatakan bahwa gerakan Hibbat Zion lahir ketika perkembangan yang terjadi di negara-negara Eropah Timur memaksa sejumlah besar orang Yahudi beremigrasi atau terpaksa meningkatkan kegiatan sosial dan politiknya. Pada waktu yang sama juga para tokoh penganjur gerakan pencerahan (Haskalah) menjadi ragu dengan apa yang selama ini mereka percayai bahwa terdapat kemungkinan terjadinya asimilasi bangsa Yahudi dengan bangsa-bangsa Eropah dan mereka juga kecewa dengan perjuangannya untuk mendapatkan persamaan hak bagi bangsa Yahudi[15].

Bila asimilasi yang diharapkan  itu terjadi maka dapat dibayangkan bahwa Israel tidak jadi mendirikan negaranya dan punya tanah air di Palestina. Justru tekanan dan penderitaan yang mereka alami itu menjadi pemicu yang positif bagi perkembangan kerinduan umat Israel di seluruh wilayah Eropah bagi terwujudnya tanah air mereka dan sekaligus kerinduan untuk kembali di Palestina. Hingga pada titik ini dapat dikatakan bahwa gerakan Hibbat Zion telah menjadi inti gerakan yang kemudian meluas dan sangat berpengaruh yang disebut Zianisme. Gerakan ini tidak selalu mendapat tanggapan positif terutama oleh banyak saudara orang Israel di Palestina yaitu orang-orang Arab, tetapi keberhasilan zionisme seara positif dapat dilihat ketika telah terbentuk negara Israel dan menjadi sebuah bangsa sama seperti bangsa-bangsa lain yang ada di dunia ini

Apakah Tuhan Allah telah menanamkan suatu kerinduan yang demikian dalam batin setiap orang Yahudi dimana saja? Mazmur 84:3 mengatakan “Jiwaku rindu karena merindukan pelataran-pelataran Tuhan, hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup” dan Mazmur 42:3 mengatakan “Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” Nampaknya perasan rindu kepada rumah/Bait Allah ini menyatu secara dinamis dengan kerinduan akan Allah, karena nyanyian-nyanyian tentang Sion itu berintikan pada kerinduan kepada Allah sendiri, dan itulah yang penulis dapat lihat serta rasakan getarannya pada kedua nats Mazmur di atas.

KONTRIBUSI HIBBAT ZION BAGI KEKERISTENAN

DI INDONESIA

 

Akumulasi dari pengalaman sejarah sebagai yang ditindas menghasilkan  pengalaman-pengalaman yang posisitif dan negatif yaitu bertahan, gigih dan ulet hingga berhasil, tetapi yang satu lagi kendati tidak diinginkan yaitu perasaan dan tindakan marah dan tidak segan-segan untuk membunuh,  dan sayang sekali bahwa saudara sepepunya yaitu orang Arab di Palestina yang menjadi sasaran kemarahannya itu. Hal ini yang dikritik oleh Prof. Gary M. Burge yang sesungguhnya membayangkan dan menghendaki agar Israel dan orang Arab dapat hidup berdampingan dalam satu tanah air yaitu Palestina[16] atas dasar bahwa pemilik tanah Palestina sesungguhnya adalah Allah sendiri, dan bila tesis ini dituruti, maka tanah Palestina merupakan milik semua orang di dunia, semua orang di dunia berhak tinggal di situ.

Sekalipun tesis ini dibuat sebagai hasil review menyeluruh atas konsep teologis yang terkandung dalam perjanjian Allah, namun menurut penulis sebuah ide yang dipertimbangkan telah muncul untuk menemukan titik pertemuan damai antara bangsa yang sedang berkonflik di Palestina.  Tanah dan air adalah mutlak milik Allah, bukan hanya tanah Palestina tetapi tanah dan air dimanapun yang terletak di muka bumi ini merupakan milik Allah, termasuk tanah air kita Indonesia sehingga semua orang juga berhak tinggal dan berada di Indonesia sama seperti semua orang berhak tinggal di Palestina

Kandungan misi kontemporer dalam gerakan Hibbat Zion  terletak dalam terwujudnya kesatuan Israel di seluruh dunia dan kembali memiliki tanah air tempat hidup bernegara dan berbangsa, sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya bahwa hal itu terwujud berkat suatu gerakan yang mengakar pada kecintaan akan Sion kota Allah, dan seungguhnya, cinta akan Sion itu sendiri mengalir dari hati Allah yang tertanam dalam lubuk hati umat pilihanNya dari waktu ke waktu.

Kontribusi Misi kontemporer Hiibbat Zion  bertolak dari suatu penilaian dan pemaknaan obyektif atas gerakan ini pada konteks historisnya. Dengan mengutip kembali sebuah pandangan holistik yang sudah teruji pada gagasan Prof. Jacob Katz yang mengatakan bahwa bangsa Yahudi merupakan kelompok yang lebih siap untuk membentuk gerakan nasional dibanding kelompok etnis lain di Eropah. Sebelum kesadaran ini bisa menjadi sebuah unsur nasionalisme modern, untuk pertama kali harus melampaui sejumlah tahap transformasi tertentu. Melalui cara yang sama, semua bangsa juga harus mengalami perubahan yang mendasar dalam perilakunya sebelum mereka mmapu memunculkan gerakan nasional, bahwa mereka juga harus mengangkat simbul-simbol etnisnya ke puncak nilai[17].  Itu berarti bahwa gerakan Hibbat Zion telah menjadi motivasi yang mendorong amat kuat bagi mengkristalnya nilai-nilai etnisitas kau Yahudi di seluruh dunia.

Orang Yahudi di seluruh dunia sadar akan keterbatasan mereka sebagai sebuah komunitas yang dapat dibilang minoritas dibanding dengan kelompok lain di Eropah dan dunia Arab pada saat itu. Namun mereka memiliki pengharapan dan semangat berbangsa yang terpuji dan teruji dalam sejarah.  Orang Kristen di Indonesia tidak perlu terpuruk dengan suatu kutub berpikir tertentu yang membuat orang Kristen sebagai kelompok integral pada bangsa ini. Dengan stigma berpikir minoritas yang telah ditiupkan oleh orang-orang yang tidak menyukai kebersamaan dan keharmonisan dalam hidup berbangsa di negara ini, dan meniupkan suatu penilaian yang akan mempengaruhi cara berpikir kita dalam hidup berbangsa dan bernegara yaitu dari segi jumlahnya oarng Kristen hanya kelompok minoritas di negara ini.  Hal itu justru bertolak belakang dengan berpikir secara iman Kristen menurut Alkitab.

Orang Kristen di Indonesia tidak perlu terpuruk dalam berpikir minoritas dan mayoritas. Ini adalah berpikir statistika yang tidak memberi nilai maju dalam pemahaman iman. Alkitab justru memberikan kepada kita suatu model dan prinsip berpikir kualitas seperti telah diajarkan oleh Yesus dalam Matius 5:13-16 bahwa kita adalah garam dan terang dunia yang sangat dibutuhkan oleh dunia dan lingkungan dimana kita berada.  Prinsip berpikir ini akan sangat mempengaruhi pemahaman akan panggilan kita sebagai warga negara, dan sekaligus memberi bobot pada kualitas peran kita sebagai warga bangsa yang dikehendaki oleh Kristus melakukan sesuatu bagi bangsa kita untuk kesejahteraan semua orang.

KESIMPULAN

Hibbat Zion sebagai sebuah gerakan etnisitas yang telah mendunia dan berhasil mencapai sasarannya, sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya bahwa hal itu terwujud berkat suatu gerakan yang mengakar pada kecintaan akan Sion kota Allah, dan seungguhnya, cinta akan Sion itu sendiri mengalir dari hati Allah yang tertanam dalam lubuk hati umat pilihanNya dari waktu ke waktu. Hibat Zion  dapat menjadi inspirasi penting bagi setiap orang Kristen di tengah kehidupan yang memamandang orang Kristen sebagai kaum minoritas agar mereka tidak terpuruk dan bangkit dengan pemahaman iman yang baru dan kompetetif menggapai masa depan yang gemilang di tangan Tuhan. Mazmur 137 memiliki kandungan teologis dan misiologis yang klasik namun up to date itu sebabnya nats ini memiliki spirit kontemporer dalam konteks masa kini.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Barth, Marie Claire & Pareira, BA.   Tafsiran Kitab Mazmur 73-150 Cetakan ke 9  (Jakarta :

            BPK . Gunung Mulia) Tahun  2011

Burge, M,Gary.   Palestina Milik Siapa?  ( Jakarta  : BPK. Gunung Mulia)  Tahun 2010

Hill, Andrew, E & Walton, John H.  Survey Perjanjian Lama,  (Malang : Gandum Mas)

            Tahun 2008

Katz  Jacob & Fiends  Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Zionisme   (Surabaya :

 

Percetakan Progresif) Tahun  1997

 

Tenney, Merril C.   Survey Perjanjian Baru  (Malang : Gandum Mas) Tahun 2001

 

Walvoord, John V.  Penggenapan Nubuat Masa Kini Zaman Akhir  ((Malang :

 

Gandum Mas)  tahun 1996



[1]Jacob Katz & Fiends  Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Zionisme (Surabaya : Percetakan Progresif, 1997) halaman 37

[2]  Gary M. Burge,  Palestina Milik Siapa?  ( Jakarta  : BPK. Gunung Mulia, 2010) halaman 39-77  

[3]  Ibid. Halaman 40  

[4] Merrlill C. Tenney  Survey Perjanjian Baru  (Malang : Gandum Mas, 2001) halaman 26

[5] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survey Perjanjian Lama,  (Malang : Gandum Mas, 2008) halaman 64

[6]  Gary M. Burge  halaman 40  

[7]  Ibid. Halaman 40

[8]  Merrill C. Tenney, halaman 51  

[9]  Ibid. Halaman 54

[10]  Ibid. Halaman 54

[11]  Gary M. Burge, halaman 41

[12] John V Walvoord, Penggenapan Nubuat Masa Kini Zaman Akhir  ((Malang : Gandum Mas, 1996) halaman 94-99

[13] Marie Claire Barth & B.A. Pareira  Tafsiran Kitab Mazmur 73-150 Cetakan ke 9 (Jakarta : BPK . Gunung Mulia, 2011) halaman 440

[14] Ibid. Halaman 442  

[15] Jacob Katz halaman 39

[16] Garry M. Burge, halaman 91-96

[17] Jacob Katz, halaman 25