Lō’ō
sa ailado ba duria somuso dōdō andrō,
noa sa fa’abōlō Lowalagi ia
ba
wangorifi samati andrō fefu, ba niha Yehuda ua ba ba ndrawa Heleni
gōi. (Roma
1:16)
A.
Pendahuluan
Saya menyambut
baik penuh sukacita upaya panitia untuk mengajak kita semua melakukan suatu
refleksi atas peristiwa sejarah yang sangat menentukan, ketika Injil yang sudah
tiba di Nias 27 September 1865 tersebut, semakin meluas ke daerah Nias bagian
utara, tepatnya pada tahun 1911 di Hili Maziaya.
Refleksi ini
menekankan bahwa kita yang hidup sekarang merupakan buah dari pekabaran injil
tersebut, dan harus terus menerus berbuah bagi kebutuhan yang mendesak yaitu
“Pembaharuan” sebagai suatu respon iman paling tepat untuk menyikapi perubahan
yang sedang terjadi di sekitar kita.
Perubahan-perubahan
yang sudah dan sedang terjadi, sering kali terjadi di luar kontrol dan
pengawasan serta kemampuan kita, karena perubahan merupakan sebuah arus yang
sangat kuat melanda semua kawasan kehidupan manusia disebabkan perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memberi sumbangan bagi terciptanya
nilai-nilai baru yang belum tentu selamanya sinkron dengan Iman kita sebagai
orang Kristen, juga tidak selamanya konsisten dengan nilai-nilai budaya kita
yang di dalamnya kita hidup sebagai masyarakat adat di Nias Utara ini.
Apakah ada andil
kita dalam perubahan? Apakah kita dapat merancang suatu perubahan? Bagaimana kita
menyikapi perubahan yang terjadi? Apakah institusi Gerejani, Institusi Pemerintah,
Institusi Adat, dan Keluarga punya peran signifikan dalam meletakkan
pilar-pilar bagi masyarakat dan warga jemaat kita dalam menyikapi perubahan
tersebut?
Jawabannya adalah “ya”, sesuai dengan tuntutan Sub Tema ceramah yang telah dipersiapkan oleh panitia bagi kita, namun semuanya menjadi sangat dipengaruhi oleh kesiapan kita untuk melakukannya (Baca : modal), dan juga keikhlasan kita untuk menerima konsekwensinya, yang tidak hanya sekedar memberi kegembiraan dan suka cita, tetapi bisa juga membutuhkan pengorbanan, termasuk bila hasilnya tidak selamanya menguntungkan pribadi kita masing-masing, melainkan justru orang lain yang duntungkan oleh usaha tersebut.
Kekuatan Injil
menurut Paulus terletak dalam kuasanya yang menyelamatkan setiap orang percaya
tanpa kecuali, dan kuasa Injil yang dimaksud adalah kuasa Allah sendiri. Rasul Paulus menandaskan dalam Roma 1:16,
bahwa ia tidak merasa malu menaruh pikiran, perasaan dan harapannya pada
Injil. Juga tidak malu mengandalkan dan
membagi Injil itu bagi siapapun, karena pada peristiwa penyaliban, kematian,
dan kebangkitan Yesus, Allah telah membuktikan dengan nyata kepada dunia saat
itu akan kuasaNya yang hebat dan ajaib tersebut. Jemaat mula-mula yang tumbuh justru dalam
penganiayaan, telah membuktikan lewat pengalaman hidup mereka sehari-hari,
bahwa satu-satunya kuasa yang dapat mengubah, membentuk dan dapat membangun,
hanyalah kuasa Allah yang dinyatakan dalam Injil
Para penulis
sejarah Gereja Nias sepakat menginformasikan kepada generasi ini bahwa sebelum
Injil masuk di bumi Nias, masing-masing kampung berjalan sendiri tanpa
kesatuan, saling berperang, kekuasaan para Salawa, Si’ulu, dan Balugu terkesan
besar di kampungnya sendiri, penyakit merajalela dimana-mana, berbagai
kesulitan ekonomi dan masalah beratnya jujuran pernikahan yang menimbulkan
kemiskinan turun-temurun[1].
Selama hampir 100 tahun berita Inji telah
tertanam di bumi Nias utara yang dimulai dari Hili Maziaya ini, ternyata kuasa Roh Kudus yang mengaktualkan Injil tersebut,
telah berhasil memangkas Fa’udusa
antar Banua, mengubah ketergantungan
pada Adu Zatua, membasmi penyakit,
membuka komunikasi antar desa, memberi
nilai baru bagi Fabanuasa, Fatalifusōta, dan Fahasara dōdō. Perubahan
yang sangat berarti telah terjadi, mewujudkan hidup lebih bermakna. Fa’a
niha Keriso menjadi lebih berkualitas ketika Fangesa Dōdō Sebua telah melanda seluruh kawasan kehidupan warga
jemaat sejak tahun 1916[2]
Sangat perlu kita mencermati dan menjadi prihatin sekarang ini, karena nilai-nilai yang indah dan sangat berharga tersebut, mulai pudar oleh kekuatan nilai-nilai baru yang diproduksi oleh budaya global yang serba modern. Tanggul-tanggul adat Fabanuasa mulai jebol oleh derasnya pengaruh ini, demikian juga dengan benteng-benteng iman mulai bocor di sana-sini, sehingga tidak ampu memberi jawaban yang pasti darimana dan hendak kemana perubahan yang sedang dipropagandakan oleh budaya global, dan mental konsumerisme di era teknologi canggih seperti sekarang.
Perangkat
teknologi canggih bidang informatika dan komunikasi, telah memberi banyak
kemudahan, cenderung memanjakan siapa saja termasuk anak-anak kita sekarang
ini. Kemungkinan besar para
perancangnya belum sempat memikirkan dan mempertimbangkan dampak negatif yang
kita alami sekarang. Mereka hanya memikirkan agar hasil rancangan mereka
memberi kemudahan bagi semua orang dan dapat menguntungkan semua pihak. Tetapi inilah yang terjadi : ancaman dan
bahaya hancurnya moralitas dan kehilangan pegangan hidup seperti yang kita
temukan pada generesi muda kita dimana-mana, telah menjadi tantangan cukup
berat bagi semua pihak dalam menghadapinya
Karena demikian maka kenyataan seperti itu mendorong kita untuk
memikirkan perubahan yang sesuai dengan kebutuhan kita. Sesungguhnya,
itulah yang sedang dirindukan oleh semua orang sekarang yaitu :
1. Perubahan
yang tidak menghancurkan iman, tetapi yang menumbuhkan dan mendewasakannya. Suatu
perubahan yang memberi tempat bagi kasih dan kuasa Allah yang membentuk hidup
dan kepribadian yang utuh.
2. Perubahan
yang tidak menghancurkan solidaritas masyarakat adat dalam konteks Fabanuasa
dan Fatalifusōta, suatu perubahan yang dapat
menumbuh kembangkan potensi Fahasara dōdō
dan Falulu Fohalōwō.
3. Perubahan
yang mewujudkan keseimbangan di segala aspek dan sektor kehidupan
barmasayarakat, beragama, bernegara, dan berkeluarga. Suatu perubahan yang
menghasilkan keseimbangan antara Iman, Ilmu
dan ketrampilan teknologi.
4. Perubahan
yang mampu memberi kecerdasan dan kreatifitas berpikir kritis dan konstruktif,
yang tidak hanya sekedar menganut dan menerapkan nilai-nilai baru, melainkan
mampu mengkritisi dan menyeleksi nilai-nilai tersebut secara konstruktif.
B.
Perubahan
Terencana Menuju Masyarakat Nias Modern
Istilah strategi dalam dunia pendidikan adalah usaha yang menunjuk pada sebuah perencanaan untuk mencapai sesuatu tujuan, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan suatu strategi, untuk itu strategi dan metode membutuhkan pendekatan (approach) yang menjadi titik tolak dalam proses mewujudkan strategi dan metode yang digunakan[3]
Dr. Jhon Ihalauw mengemukakan suatu jawaban atas
pertanyaan “Bagaimana mengadakan perubahan sosial terencana itu”? dengan
merujuk pada tiga jenis strategi sebagai berikut :
a. Strategi
yang bersifat empiris-rasional. Strategi
ini menekankan pemberdayaan masyarakat di bidang pengetahuan, dan diperankan
oleh lembaga pendidikan yang ada. Hanya
dengan pengetahuan maka perubahan taraf hidup dan wawasan berpikir masyarakat
dapat berubah dan menjadi masyarakat yang rasional.
b. Strategi
yang bersifat normative-re educative.
Strategi ini memandang manusia sebagai pribadi yang terikat dan
tergantung pada lingkungan sosial ataupun lingkungan jemaatnya, manusia
berkreasi dan menghargai hidupnya, dan
hidup orang lain berdasarkan norma yang ada dalam masyarakat dan jemaat. Dalam hal ini kesadaran menjadi warga
masyarakat, warga jemaat yang dewasa dan bertanggung jawab, perlu diciptakan
oleh Gereja dan lembaga adat, sehingga keteraturan dalam menyikapi masalah
hidup sehari-hari dapat terwujud, dan perubahan yang dicanangkan akan mendapat
respon yang kritis dan konstruktif.
c. Strategi
yang berlandaskan Power atau
kekuasaan[4]. Strategi ini membutuhkan kuasa mewujudkan
aturan dan kebijakan pemerintahan, dan hal itu ada di tangan Pemerintah Daerah,
para pimpinan di tingkat desa (Kepala Desa dan selanjutnya Kepala Dusun). Kepatuhan masyarakat kepada pemerintah untuk
melaksanakan secara bersama-sama perubahan dimaksud sangat diperlukan. Untuk
itu sebuah daerah dan desa membutuhkan aparat birokrasi yang bersih dan
berwibawa untuk memegang tongkat komando bagi mewujudkan rencana perubahan
tersebut. Mereka adalah Hamba Tuhan yang
bekerja bagi daerah dan bagi desanya.
Saya pikir ketiga strategi tersebut telah diperankan oleh lembaga pendidikan, pemerintah dan lembaga lain yang ada dalam masyarakat kita selama ini, walau hasilnya sudah mulai nampak juga, tetapi ada kesan seakan-akan kita tidak berdaya melakukannya, dan kita cenderung mencari penyebab mengapa semuanya tidak dapat efektif seperti yang diharapkan. Strategi yang baik ini perlu dilengkapi dan disempurnakan oleh strategi yang bersifat teologis sebagai berikut :
Strategi Perubahan
Sosial dalam Ajaran Tuhan Yesus
1. Menjadi garam dan terang dunia. (Mat.
5:13-14) Yesus tidak bermaksud agar
moralitas yang sudah busuk dapat diawetkan dengan datangnya garam, dan mengutus
murid-muridNya supaya mereka melestarikan/mengawetkan mental tersebut. Yesus
tidak mengajarkan etika kompromi terhadap mental dan moralitas duniawi yang
busuk saat itu. Sungguh ironis apabila ada hamba Tuhan yang mendoakan pejabat pemerintah yang korupsi supaya tetap sehat dan
diberi umur panjang, padahal doa dan pelayanan yang sangat dibutuhkan oleh
oknum birokrat tersebut ialah supaya dapat mengalami perubahan. Tuhan Yesus menuntut pertobatan yang menjadi syarat mutlak untuk
terwujudnya pengubahan. Murid-murid yang sudah diubah selanjutnya
dimuridkan kemudian diutus untuk menghasilkan buah yang tetap (Yoh.15:16) Merekalah yang membawa berita pengubahan yang
berkuasa itu, dengan demikian maka di dunia ini, kehidupan kembali terbit dan bersinar,
selanjutnya hal itu hendak dibagi menjadi hidup bagi semua.
Kegelapan hati dan pikiran,
menyebabkan pertimbangan dan keputusan apapun yang diambil tidak pernah bisa
mendatangkan kebaikan dan pengubahan. Di
situ dosa beranak cucu terus menerus sehingga manusia hidup tetap dalam
kegelapan dan tidak satupun kuasa di dunia yang dapat membebaskan manusia
kecuali kuasa terang hidup yang datangnya dari Tuhan Yesus. Murid-murid yang sudah dihidupkan kembali
oleh dan di dalam Terang itu, membawa hidup tersebut bagi dunia mereka saat itu
dan melanda hidup kita di sini karena para kakek dan nenek kita telah membuka
pintu hati dan pintu rumah mereka bagi Injil. Kini ketergantungan terhadap Adu Zatua telah berakhir, namun berhala
baru muncul lagi yaitu ketergantungan terhadap perangkat teknologi dan
alat-alat komunikasi cellular.
2. Mengasihi musuh. (Mat. 5:43-48) Permusuhan tidak dapat dibasmi dengan perlawanan dan pembalasan. Sebaliknya, permusuhan dapat dilenyapkan dengan kekuatan yang melebihi atau mengatasi permusuhan tersebut yaitu kuasa kasih. Dalam dunia politik, susah menemukan standard lawan dan kawan, karena mental manusia pada kepentingan bisa berubah suatu saat, sehingga boleh jadi aktor politik tidak bisa jadi seorang yang ideal dan radikal, melainkan seorang yang oportunis dan terbiasa fleksibel terhadap semua keadaan. Hari ini lawan, besok bisa berubah jadi kawan, yang mengubah kondisi itu adalah kepentingan diri. Yesus mengajarkan bahwa musuh harus dikasihi dan didoakan, dan hal itu pasti bisa terwujud dalam diri orang yang memiliki hati dan jiwa yang siap dan suka mengampuni. Dengan demikian sudah dapat dipastikan bahwa yang akan terjadi ketika orang beriman melakukan kewajiban kasih dan kewajiban ibadah yaitu berdoa, yang dilandasi oleh kesadaran bahwa pembalasan adalah hak Allah. Dengan mengampuni dan menerima maka terciptalah kesadaran untuk berubah pada orang yang membenci dan memusuhi kita.
3. Menghormati dan tunduk kepada Pemerintah.
(Mat. 17:24-27) Yesus mengajarkan Petrus supaya tidak menjadi batu sandungan
terhadap pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan mereka, karena itu Ia
menyuruh Petrus bekerja dan membayar pajak Bait Allah. Disiplin moral seperti
ini tertanam dalam jiwa Paulus, sehingga ia mengajarkan jemaat Roma supaya
tunduk dan taat kepada pemerintah Roma pada saat itu yang notabene bukanlah
pengikut Kristus (Band. Roma 13)
Sesungguhnya, kuasa untuk memerintah adalah berasal dari Allah, mereka
adalah hamba-hamba Tuhan bagi negaranya dan bagi daerahnya untuk mendatangkan
kesejahteraan bagi rakyatnya. Mereka
bertanggung jawab secara vertikal kepada Allah atas kinerja dan etos kerja
mereka. LPJ mereka boleh saja diterima
di dunia ini, namun bila ditolak di surga maka mereka pasti tidak mendapat
mahkota kehidupan.
4. Memberitakan Injil Kerajaan Allah. (Mark. 16:15) Strategi untuk menata suatu dunia baru penuh damai dan jauh dari kekerasan, terwujud dengan proklamasi berita sukacita yaitu Injil Kerajaan Allah. Setiap Gereja yang tidak memberitakan Injil tidak akan bertumbuh, setiap orang Kristen yang tidak memberitakan Injil, hidupnya gersang sekalipun ia dapat menikmati berbagai fasilitas hidup dari Tuhan. Ada banyak orang Kristen yang sudah terdaftar menjadi warga jemaat di suatu Gereja, namun mereka masih belum menikmati hidup baru. Keadaan itu sama dengan mati dan tidak berdaya. Hidupnya dikendalikan oleh arus dan situasi, orang tersebut tidak mampu mengendalikan situasi, apalagi tidak mampu mengendalikan perubahan yang sedang terjadi. Semakin banyak jumlah orang ini dalam masyarakat, maka program pembangunan yang bagaimanapun bagusnya oleh pemerintah, akan sukar berjalan dengan baik, sebaliknya bila jumlah ini semakin berkurang dari hari ke hari, maka program pengubahan masyarakat akan semakin berjalan dengan baik dan membuahkan hasil yang signifikan, maka terwujudlah dunia baru yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus.
C.
Menjadi
Pelayan Yang hidup Bagi Perubahan.
Dalam pikiran saya, pelayan yang
hidup itu adalah orang yang telah mendapatkan hidupnya yang baru dalam Kristus
seperti diajarkan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus.
(2 Kor.5:17) Hidup yang lama yang dimilikinya bukan
kebanggaan, tetapi suatu cela dan kerugian.
Karena itu tidak usah diceritakan menjadi suatu kesaksian, sering sekali
kita mendengar demikian : “na ya’ odo fōna mena’ō zimanō, ba tola manō
uwa’ō he zo manō ihalō ia fa ono matua andre, ba hiza ia da’e ba uwaō
tōdōgu lō hare khōnia”. Mungkin
tujuannya baik untuk menceritakan, tetapi di situ tanpa di sadari, iblis mencuri
kesempatan dan berbisik melalui orang lain demikian : “tolonglah ceritakan
sedikit saja seperti apa yang dulu itu”. Maksudnya coba ungkapkan kembali kelebihanmu,
kehebatanmu waktu dulu, dan di situ tanpa disadari bahwa iblis telah berhasil
membawa kita ke masa lalu yang gelap di mata Tuhan. Pelayan Tuhan adalah
seorang yang telah berhasil melupakan apa yang berada di belakangnya dan
mengarahkan dirinya kepada hal-hal yang di depannya (Fil.3:13) bahkan dengan
komitmen yang utuh seorang hamba Tuhan/pelayan mampu mengevaluasi diri dengan
menyadari bahwa keuntungan di masa lampau itu, sungguh merupakan kerugian di
masa kini jika dibandingkan dengan keuntungan besar dalam Kristus yang telah
disediakan dalam hidup menjadi hambaNya. (Fil. 3:7-8)
1.
Peran
Gereja,
Peran Gereja bagi program Allah untuk perubahan merupakan mandat yang sudah baku, dan yang paling dikawatirkan apabila pemahaman akan mandat ini menjadi “beku”. Karena itu Gereja perlu belajar untuk membawa misi perubahan. Dengan demikian pemahaman yang sudah baku tersebut menjadi dinamis. Sembari belajar akan misi perubahan tersebut, Gereja justru diubah juga, karena Gereja bukan produk karya Roh Kudus yang sekali diciptakan langsung menjadi barang jadi dengan sendirinya, melainkan bangunan Allah yang terus-menerus dibaharui. Ecclesia Reformata Semper Reformanda artinya Gereja yang dibaharui akan terus-menerus diperbaharui.[5]
Gereja
tidak hanya membutuhkan “Kebangunan Rohani” tetapi juga membutuhkan “Kebangunan
Doktrinal” dan “Kebangunan Praktikal” sehingga semua aspek dari kedirian Gereja
kita menjadi bangun dan bersinar. Lalu
semua kita dapat menemukan bahwa di dalam Gereja, lewat Gereja, dan oleh Gereja,
kita melihat dan menemukan secara jelas
model perubahan yang dikehendaki Allah.
Gereja
harus menjadi mitra kerja bagi lembaga Pemerintah, lembaga Adat dan lembaga
Pendidikan dalam mewujudkan perubahan, mereka tidak boleh saling menonton dan
saling menyalahkan, tetapi saling mendoakan, saling memperhatikan, saling
mengingatkan. Gereja harus membawa dan
mengaktualkan suara kenabian yang kritis, profetis, dinamis. Untuk itu Gereja
juga harus membangun kehidupan rohani yang terbuka dan dialogis kepada mitra
kerjanya yaitu pemerintah dan para tokoh adat dalam menunaikan misi pengubahan tersebut.
2.
Peran
Lembaga Pendidikan
Kita
sudah menerima secara umum bahwa fungsi lembaga pendidikan demikian sentral
untuk mencapai perubahan yang logis dan fundamental. Peran yang sudah terlihat berhasil dan sudah
ditunaikan oleh lembaga pendidikan yang ada di tengah masyarakat kita selama
ini, perlu dipacu dan diberi muatan yang semakin kompetifif. Lembaga pendidikan kita betapapun sederhananya,
perlu melahirkan pribadi-pribadi terpelajar yang memiliki potensi berdedikasi
tinggi dan menjadi pemimpin di masa yang akan datang. Untuk itu perlu
dipikirkan antara lain :
a. Pendidikan
yang disertai dengan pelatihan ketrampilan akan melahirkan tenaga kerja siap
pakai bagi pembangunan daerah di berbagai sektor. Sekolah Menengah Kejuruan
yang ada di daerah kita, tidak hanya menyelenggarakan pelatihan ketrampilan
mengoperasikan computer dan perkantoran, tetapi juga bidang pertanian,
peternakan, perkebunan dan kesehatan serta pariwisata perlu mendapat prioritas
bagi program pengubahan yang berkesinambungan ke depan.
b. Pendidikan
Anti Korupsi perlu diberikan sedini mungkin mulai dari Sekolah Dasar hingga di Sekolah Menengah Atas, supaya lahirlah
generasi terdidik yang baru yang bermoral tinggi dan kualitas spiritual yang
teruji dan terpuji jika kelak menjadi pemimpin.
c. Pendidikan moral dan etika harus melahirkan generasi muda yang berdisiplin tinggi sebagai bahan dasar untuk menempah para pemimpin daerah dan pemimpin bangsa ke depan. Kualitas disiplin individu yang dimiliki sebagai hasil pembentukan lembaga sekolah mencitrakan kualitas penyelenggaraan pendidikan di daerah kita ini.
3.
Peran
Pemerintah Daerah
Kita membutuhkan figur
birokrat Pemerintah daerah Nias Utara yang capabel di bidang moral, mengasihi
Tuhan lebih dari segalanya, berakar dalam pelayanan Gerejani dan pelayanan
sosial kemasyarakatan, seorang pahlawan yang mampu mengajar rakyatnya membenci
korupsi dan memiliki komitmen tinggi untuk membersihkan segala macam tindakan tersebut,
mulai dari korupsi waktu hingga ke korupsi uang Negara dan uang yang seharusnya
untuk rakyat.
Prof Sondang
P.Siagian mengemukakan bahwa salah satu dampak dari perkembangan Ilmu
pegetahuan dan teknologi yaitu lahirnya
paradigma baru dalam aktifitas penyelenggaraan pemerintah yang mengejawantah
dalam berbagai bentuk seperti : keterbukaan, transparansi, semakin menonjolnya
fungsi pengayoman dan bukan fungsi pengaturan serta terjadinya peralihan
orientasi dari kekuasan, menjadi orientasi pelayanan[6]. Fungsi pengayoman dekat sekali pada tugas
penggembalaan dengan modal dasarnya adalah iman yang tulus, kerendahan hati
yang tumbuh secara wajar bukan karbitan, integritas yang teruji, wawasan
berpikir yang komprehensip, semuanya menyatu dalam spiritualitas siap juang.
Fungsi pengayoman ini pasti dimiliki oleh para calon birokrat kita yang mengakar
dalam pelayanan Gerejani, karena mereka mampu memahami dengan baik prinsip
penggembalaan umat yang menjadi konteks mayoritas kehidupan masyarakat di Nias
utara ini. Jadi Figur “ENONI”
atau “PELAYAN” sangat penting dan pasti
mampu untuk itu. Masyarakat Nias utara harus mendukung secra moral dan
spiritual tampilnya figur tersebut dan memperjuangkan hingga terwujud lewat
kompetisi yang fair pada PILKADA yang akan datang.
Kita membutuhkan figur pemimpin daerah Nias utara yang mampu menggerakkan suatu tim, yang akan menghidupkan potensi perekonomian daerah dalam berbagai sektor, selanjutnya berani dan mampu membuka akses untuk masuknya para investor dari luar daerah, setelah lebih dahulu diperhitungkan secara matang, tentang unsur potensi daerah yang manakah layak untuk dipromosikan kepada para investor tersebut.
Kita membutuhkan
figur pemimpin daerah Nias Utara yang berkomitmen tinggi di bidang pemberdayaan
kualitas SDM bidang pendidikan dan kesehatan, dan mampu menggerakkan kembali
masyarakat kita untuk mengembalikan kewibawaan lembaga adat yang sudah mulai
pudar akibat pengaruh modernisasi dan budaya globalisasi.
4.
Peran
Lembaga Adat
Prof. Dr. Sunyoto Usman dalam bukunya
Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat mengemukakan bahwa di era globalisasi,
Indonesia tidak hanya menghadapi persoalan-persoalan ekonomi dan politik,
tetapi juga menghadapi kerapuhan tatanan kehidupan sosial yang berdampak serius
pada sulitnya menemukan keunikkan kultural dalam suatu masyarakat.[7]
Nilai-nilai budaya tradisional
posisitif yang kita miliki, memang harus dapat dikembalikan dalam jiwa
masyarakat kita terutama untuk generasi muda. Terdapat kesan bahwa kewibawaan
para tokoh adat kita menjadi kaku dan tidak proggresif, akibat derasnya mental
modernisme yang sudah melanda setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat desa
terutama keluarga. Apresiasi kebebasan individu semakin melambung tinggi melampaui
batas-batas norma adat dan agama. Para
tokoh adat kita hanya bisa geleng-geleng kepala dan tidak berdaya membendung
moralitas tersebut. Sebaiknya, kita
perlu duduk bersama untuk berseminar, berdiskusi. Setidaknya kita memiliki persamaan prinsip dan
persepsi yang melangkah pada persamaan gerak, menuju upaya pemulihan atas
krisis budaya tersebut. Lenyapnya
nilai-nilai budaya Fabanuasa, Fahasara
dōdō, Falulu Fohalōwō, Fasumangeta, Fariawōsa, Famoni, Fatomesa dll, berarti hilangnya identitas
diri dan keunikkan kultur kita di Nias utara ini. Padahal unsur-unsur tersebut
yang justru menjadi kekuatan tersendiri bagi kita dalam menyikapi perubahan
yang sedang dan akan berlangsung. Kiranya hal ini menjadi perhatian serius dari
kita bersama, dan bukan hanya perhatian sampingan.
5.
Peran
Keluarga
Keluarga sebagai unit sosial terkecil namun sentral dan menentukan, karena di situlah tumbuh nilai-nilai keimanan yang tangguh, nilai nilai budaya yang kompetitif dalam masyarakat sekuler. Pembentukan konsep nilai-nilai budaya Fabanuasa, Fahasara dōdō, Falulu Fohalōwō, Fasumangeta, Fariawōsa, Famoni, Fatomesa dll. dimulai dalam keluarga. Pengejawantahan nilai-nilai iman dan nilai-nilai kebenaran yang dikhotbahkan dan diajarkan dari mimbar Gereja adalah dalam keluarga. Tidak mungkin peran ini diserahkan oleh Suami kepada Isteri sebagai Ibu, demikian sebaliknya. Ada atau tidak adanya kesepakatan mengenai siapa yang akan melaksanakan hal itu adalah menunjukkan ketidak berdayaan keluarga-keluarga kita menghadapi badai modernisasi. Keutuhan setiap keluarga terancam punah, karena perhatian besar sedang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan kebutuhan ilmu dan kebutuhan iman diserahkan kepada lembaga pendidikan dan lembaga gereja. Sesungguhnya kedua lembaga ini hanya memberi kebutuhan yang bersifat umum, sedangkan kebutuhan khusus bidang iman dan ilmu yang situasional harus diperlengkapi dalam keluarga.
Pemberdayaan keluarga menjadi unit
yang tangguh di era ini membutuhkan perhatian serius pihak Gereja lewat
pastoral konseling yang taktis, strategis dan metodologis.
Artikel ini harus dibiarkan tanpa
kesimpulan, karena forum kita inilah yang akan memikirkan kesimpulan. Mungkin kesimpulan tidak terlalu penting
karena yang sangat penting adalah respon
dan aksi. Tuhan Yesus memberkati
DAFTAR BACAAN
Gulō, W.
Benih Yang Bertumbuh Vol.13 (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1983 )
Ihalauw, Jhon, Alternatif-Alternatif Strategi Untuk
Mengadakan Perubahan Sosial Terencana, Dalam Laporan Latihan Pembinaan
Kepemimpinan VII BINA DARMA (Salatiga : Bina Darma, 1983) hal.1-6
Kruger, Muller. Sejarah Gereja Indonesia (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1966)
Sanjaya, Wina. Kurikulum
dan Pembelajaran (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2009)
Siagian P. Sondang, Manajemen
Abad 21 (Jakarta : Bumi Aksara, 2009)
Sanjaya, Wina. Kurikulum
dan Pembelajaran (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2009)
Usman, Sunyoto Pembangunan
dan Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar,
2010)
Zalukhu, Fotarisman (ed), TUNAIKAN
TUGAS PELAYANAN (Bandung : Cita Pustaka, 2010)
Zega, Fan (ed)
WaōWaō Duria Somuso Dōdō ba Danō Niha
( Gunung Sitoli : PLPI, 1986 )
[1]
Bandingkan Muller Kruger, Sejarah Gereja Indonesia (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1966) hal 240,
juga W. Gulō, Benih Yang Bertumbuh Vol.13 (Jakarta
: BPK Gunung Mulia, 1983 ) hal. 10-11 dan WaōWaō Duria Somuso Dōdō ba Danō Niha
( Gunung Sitoli : PLPI, 1986 ) hal. 13
[2]
WaōWaō Duria Somuso dōdō ba danō Niha, ( Gunung Sitoli : PLPI, 1986 ) hal. 14-17
[3] Bandingkan Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta
: Kencana Prenada Media Group,
2009) hal. 295
[4] Jhon
Ihalauw, Alternatif-Alternatif Strategi
Untuk Mengadakan Perubahan Sosial Terencana, Dalam Laporan Latihan
Pembinaan Kepemimpinan VII BINA DARMA (Salatiga : Bina Darma, 1983) hal.1-6
[5]
Band. Etiknius Harefa, Memacu
Perwujudan Misi BNKP Pasca Pemberlakuan Tata Gereja Baru Dalam TUNAIKAN TUGAS PELAYANAN. Kumpulan Refleksi yang diterbitkan dalam
Rangka Persidangan Majelis Sinode BNKP ke 55 Tahun 2010 di Medan, Fotarisman
Zalukhu (ed), (Bandung : Cita Pustaka, 2010) hal. 75-76
[6] Sondang
P. Siagian, Manajemen Abad 21 (Jakarta
: Bumi Aksara, 2009) halaman 4
[7] Sunyoto
Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2010) halaman 3-4