Chapter 2
JARUM YANG MENUSUK
DALAM PERJUMPAAN YANG
REALITAS
(Keputusan Mutlak)
Maka dari dalam badai Tuhan menjawab
Ayub: siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang
tidak berpengetahuan? Bersiaplah engkau sebagai laki-laki Aku akan menanyai
engkau supaya engkau memberitahu Aku. Dimanakah engkau, ketika Aku meletakkan
dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian. Apakah engkau
hendak meniadakan pengadilanKu, mempersalahkan Aku supaya engkau dapat
membenarkan dirimu? (Ayub 38:1-4; 40:3)
- Pengantar
Pandangan
tentang Kitab Ayub mencakup konteks dan amanat serta tujuannya pasti
mempengaruhi pada prinsip dan ciri teologis yang dikembangkan berdasarkan kitab ini.
Sri
Wismoady Wahono misalnya dalam bukunya Di Sini Kutemukan
mengemukakan pemahamannya bahwa kitab
ini disusun oleh penulis atau redaktornya dengan sangat kreatif serta
menyajikan mutu sastra yang indah dan sengaja, tetapi di dalam kitab ini
disajikan masalah teologis yang berat, nampak dalam bentuk percakapan antara
Ayub dengan teman-temannya.1 Kemudian S.Wismoady Wahono menilai bahwa
“Kalau disimak lebih teliti maka jelas bahwa perdebatan itu sangat kurang
meyakinkan”2, alasannya nampak pada hubungan antara prolog dan
epilog, demikian juga diskusi itu tidak teratur tanpa ujung pangkal, Wahono
juga menemukan bahwa Ayub yang dikisahkan pada prolog nampak berbeda dengan
Ayub yang dikisahkan dalam bagian utama kitab ini.3
Barangkali pandangan ini tidak terlepas dari penilaian dan penerimaan secara
menyeluruh mengenai keabsahan kitab Ayub oleh penulis, dan hal itu juga berarti
Wahono tidak dapat menerima bahwa Ayub pernah hidup dalam sejarah dan termasuk
di dalamnya ada kesalahan, tidak konsekwen karena sajian dialog kurang
meyakinkan.
F.L.Bakker
salah sorang ahli sejarah menyatakan bahwa Ayub pernah hidup dalam sejarah,
“Ayub dan kawan-kawannya termasuk
orang-orang dari zaman bapa-bapa leluhur, yang masih mengenal dan beribakti
kepada Allah…………jadi oleh karena itu Ayub hidup di zaman dahulu sebelum Israel
masuk ke Kanaan. Sejarahnya disusun seorang pujangga dalam bentuk puisi dengan
tuntunan Roh Allah”4
Parlaungan
Gultom melihat sesuatu yang lain dari apa yang diperdebatkan oleh para ahli mengenai
pandangan mereka atas tujuan pemberitaan kitab Ayub. Pak Gultom mengemukakan
bahwa kitab Ayub tidak memberikan jawaban yang pasti terhadap anggapan para
ahli itu5. Selanjutnya dikemukakan bahwa “tujuan
utama kitab kelihatannya adalah untuk menunjukkan bahwa hubungan yang benar di
antara Allah dan manusia (dalam semua keadaan) didasarkan terutama pada kasih
karunia Allah yang Mahakuasa dan respon manusia akan iman dan kepercayaan yang
bersifat tunduk6
Perjumpaan dalam konteks tulisan ini adalah suatu pengertian
yang secara khusus menjelaskan tentang pengalam hidup manusia dalam hubungannya
dengan Allah lewat penderitaan yang dialami. Menjadi sorotan pemikiran adalah
“Bagaimana perjumpaan itu telah terjadi, dan bagaimana Kitab Ayub
menyaksikannya”? kemudian “Apakah perjumpaan itu memberi makna penting atau
memberi sumbangan bagi perkembangan pemikiran dan kedewasaan iman seseorang
yang mengalaminya”? Selanjutnya,
dapatkah pengalaman rohani tersebut diaplikasikan pada kenyataan pengalaman
seorang Kristen masa kini dalam menghadapi pergumulannya”?
Bertitik tolak dari pikiran mengenai hubungan yang benar di
antara Allah dengan manusia sebagaimana dikemukakan menjadi tujuan utama kitab
Ayub, maka penulis berasumsi bahwa hubungan yang benar itu nampak pada konteks
paragraf pasal 42 : 1-6 sebagai sebuah
bentuk perjumpaan yang berbeda dengan keadaan sebelumnya, dan dapat disebut
sebagai perjumpaan yang sejati, kemudian hubungan yang benar ini terealisasikan
secara konkrit pada paragraf berikutnya yaitu ayat 7-17 karena itu penulis
bermaksud melakukan sebuah pendekatan teologis kemudian mencoba membandingkan
konsep perjumpaan sejati ini dengan Perjanjian Baru.
- Titik
Tolak Perjumpaan Adalah Penyesalan
Ayub
mengatakan “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku
duduk dalam debu dan abu”.(42:6) Ucapan ini menjadi pangkal terbukanya
suatu hubungan baru yang pasti dimulai dari kesadaran akan kesalahan dalam
sikap dan ucapan yang pernah dilontarkan sebelumnya oleh Ayub. Sikap dan ucapan
Ayub telah memperlihatkan bahwa dia
mengecam dan mencela Allah atas penderitaan yang dialaminya (pasal
39:35)
Apakah
alasan Ayub mencabut perkataannya? Pada paragraf ini nampak 3 hal yaitu:
a.
Sekarang
Ayub tahu bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu dan
tidak ada rencanaNya yang
gagal (ayat 2),
b.
Tanpa
pengertian selama ini Ayub telah berkata-kata tentang hal-hal
yang sangat ajaib dan tidak diketahuinya (ayat 3b),
c.
Pengetahuan
Ayub tentang Allah selama ini tidak lebih dari sekedar sebuah informasi dari
orang lain (ayat 5a)
Dalam
konteks percakapan dengan temannya Bildad (ps 8-10) kelihatan bagaimana dia
memahami penderitaannya sebagai suatu perkara dalam hubungannya dengan Yahweh,
Ayub mengatakan “Bila aku berseru, Ia menjawab, aku tidak dapat percaya
bahwa Ia mendengar suaraku, Dialah yang meremukkan aku dalam angin ribut, yang
memperbanyak lukaku dengan tidak semena-mena, yang tidak membiarkan aku
bernafas tetapi mengenyangkan aku dengan kepahitan”. (ps 9:16-18) Di sini
perkara itu dihadapkan pada Allah, lebih dari sekedar bahwa Allah membiarkan
penderitaan menggerogoti Ayub tetapi menurutnya Allah yang paling bertanggung
jawab dalam hal ini, padaNya ada kuasa dan ia telah menyerahkan hal itu ke
dalam tangan orang fasik “kalau bukan Dia, oleh siapa lagi”? (ps 9:24).
Dengan mencermati ayat 16-18 dan 30-31 kelihatannya Ayub telah dikuasai oleh
pikiran yang pesimistis.
Kemudian
Ayub terus mencela dan membantah pada Allah dengan mengatakan “Apakah
untungnya bagiMu mengadakan penindasan, membuang hasil jerih payah tanganMu,
sedangkan Engkau mendukung rancangan orang fasik” (ps 10:3) Dengan perasaan
geram Ayub memahami kuasa Allah yang mutlak dan di dalamnya ia tidak dapat
berkutik, lalu ia angkat bicara menentang Allah dengan emosi yang meluap-luap.
Ayub tidak mengerti pertimbangan dan keputusan Allah atasnya sehingga ia
berkata “Ingatlah, bahwa Engkaulah yang membuat aku dari tanah liat, tetapi
Engkau hendak menjadikan aku debu kembali?”(ayat 9-10) Ayub melihat bahwa
kehidupan yang benar atau berdosa sama
saja pada situasi seperti itu (band. ayat 14-17) lalu kesimpulannya pada bagian
ini adalah penyesalan terhadap tindakan Allah atasnya dengan mengatakan: ”Mengapa
Engkau menyebabkan aku keluar dari kandungan, lebih baik aku binasa, sebelum
orang melihat aku”(ayat 18)
Dalam
konteks pembicaraan dengan Zofar orang Naama (pasal 11-14) yang walaupun Ayub
mengakui kekuasaan dan hikmat Allah, namun ia berusaha membela perkaranya di
hadapan Allah (ps 13:3) dan pada ayat 18 Ayub mengklaim bahwa ia benar. Dalam
konteks ini juga kelihatan sebuah perkembangan dalam pemahaman Ayub akan
perbedaan yang hakiki antara manusia dengan Allah, ia berpikir bahwa manusia
hanya bagaikan sekuntum bunga yang berkembang dan akan layu, seperti
bayang-bayang (ps.14:2), tetapi dalam pengertiannya itu terselubung ketidak
tahuan akan kekuasaan Allah sehingga pada kesempatan itu Ayub mencela “Masakan
Engkau menunjukkan pandanganMu kepada orang yang seperti itu dan menghadapkan
kepadaMu untuk diadili” (ayat 3) Dalam ukuran perimbangan manusia Ayub
berpikir bahwa Allah tidak sudi melakukan hal itu atasnya.
Selanjutnya,
dalam pembicaraan dengan Elifas (pasal 15-17) nampak bahwa Ayub mengeluh dengan
perlakuan Allah hingga membuatnya makin pesimis, sampai ia mengatakan “Tetapi
bila aku berbicara, penderitaanku tidak menjadi ringan, dan bila aku berdiam
diri, apakah yang hilang dari padaku” (ps 16:6) Jadi, sekali lagi Ayub merasa bahwa semuanya
menjadi sia-sia, fakta telah menunjukkan bahwa Allah telah menyerahkan dirinya
kepada orang lalim dan menjatuhkannya (ayat 11), Allah telah menggelisahkannya,
menangkap dan membantingnya, serta merobek-robek hidupnya (ayat 11-14).
Perkembangan
pemikiran Ayub semakin nampak dalam pembicaraan dengan Elifas pada pasal 22-24.
Sahabatnya ini menganjurkan supaya dia bertobat (ps 22), dan sekalipun
kelihatannya Ayub ingin membela diri di hadapan Allah (ps 24), namun di sana
mulai kelihatan bahwa Ayub semakin menyadari kekeliruannya dan keMahakuasaan
Allah atas hidupnya, di situ Ayub mengatakan bahwa Allah tidak pernah berubah,
dan tidak dapat dihalangi oleh siapapun, Ia
akan menyelesaikan apa yang telah Dia tetapkan baginya, lalu Ayub merasa
gemetar dan takut berhadapan dengan Allah (band. ps 24:13-15)
Tahapan
perkembangan pemahaman Ayub ini semakin nampak pada pasal 28-30, tetapi pada
pasal 31 kita masih menemukan pendirian Ayub yang mengaku tidak bersalah dalam
hubungannya dengan orang lain hingga ia berani mengatakan apabila semuanya itu
telah dilakukannya “maka biarlah bukan gandum, tetapi onak, dan bukan jelai
tetapi lalang” (ps.31:40) Pernyataan ini tidak hanya dapat diartikan
sebagai pembelaannya tetapi juga merupakan sumpah pembenaran dirinya di hadapan
Allah.
Dari
sikap dan ucapan yang sedikit telah diketengahkan pada pembahasan di atas, maka
sangatlah berdasar ketika pada pasal 42:6 Ayub mengatakan bahwa ia mencabut
semua perkataannya itu dan menyesal yang berarti bahwa ia memasuki dimensi
pertobatan dan rindu memulai hubungan baru dengan Allah.
- Perjumpaan
Ayub Dengan Allah
Perjumpaan Ayub dengan Allah terjadi dalam
penderitaannya, pemahamannya akan Allah
dibentuk kembali sehingga terwujud suatu pemahaman ulang akan penderitaannya
yang ditunaikan lewat penyesalan dan pertobatan.
Pada pasal 42:5b Ayub mengatakakan “tetapi sekarang
mataku sendiri memandang Engkau” . Dalam konteks yang bagaimana seharusnya
nampak bahwa Ayub telah dimungkinkan untuk menyaksikan bahwa ia mengalami
perjumpaan sejati dengan Allah sebagai
suatu pengalaman yang konkrit baginya?
1.
Pengalaman
dalam penderitaan mewujudkan renungan yang semakin berkembang dalam diri Ayub
sebagai hamba Allah yang saleh (ps 1:8). Beberapa nats menunjukkan hal itu
sekalipun terungkap dalam konteks perdebatan dengan sahabat-sahabatnya antara
lain: Ada kesadaran dan pengakuan bahwa
hidup itu sementara (ps 7:7,17; 14:2), Allah itu Mahakuasa, Mahabijaksana penuh
hikmat (ps 9:4 ; 12:16 ; 13:3 ; 28:1-28) Allah Maha mengetahui dan Maha Adil
(ps 21:22), Ia tidak pernah berubah (23:13) Allah Maha Besar (26:1-14)
2.
Jawaban
yang diberikan Allah kepada Ayub (ps 38-41) menghasilkan pemahaman yang
memungkinkan hamba yang saleh itu mengalami perubahan pemahamannya tentang
Allah secara baru. Jawaban kepada Ayub mengenai kemutlakkan dan ke Mahakuasaan
Allah dalam segala pertimbangan dan keputusanNya nampak dalam dua tahap, pertama
yaitu pasal 38-39. Jawaban ini memperlihatkan keMahakuasaan Allah atas ciptaan
dan alam semesta. Firman Allah yang menantang ini dijawab Ayub dengan rendah
hati pada pasal 39:37 demikian “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina, jawab
apakah yang dapat kuberikan kepadaMu? Mulutku kututup dengan tangan”. Tahap
kedua nampak dalam pasal 40 dan 41 yang memperlihatkan ke Mahakuasaan Allah
atas hidup manusia. Selanjutnya Firman Allah ini dijawab oleh Ayub pada pasal
42:1-6 dan merupakan kesimpulan akhir yang di dalamnya menjadi nyata bahwa Ayub
mengalami perjumpaan sejati dengan Allah dalam penghayatan akan penderitaan itu
dan pemahamannya akan jawaban Allah atas kasus penderitaan yang dia alami..
1. Sri
Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, Jakarta BPK.G.Mulia,
1987, halaman 227
2 Sri Wismoady Wahono, Ibid,
hal. 227
3 Sri
Wismoady Wahono, Ibid. hal 228
4 F.L.
Bakker, Sejarah Kerajaan Allah,
Jakarta BPK G.Mulia, Cet. 12, 2000, halaman 237
5 Parlaungan
Gultom Teologi Perjanjian Lama bagian II Ayub – Maleakhi , 1999,
Yogyakarta STII Hal.2
6 Parlaungan
Gultom I b
i d halaman 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar