MISI
KONTEMPORER DALAM HIBBAT ZION
Refleksi
Kerinduan akan Sion berdasarkan Mazmur 137
ABSTRAK
Walaupun
Zionisme telah ditentang habis oleh para musuh Israel di seluruh dunia, tetapi
bukti sejarah telah berbicara langsung kepada kita bahwa kehidupan Israel di
panggung sejarah Palestina bukan khayalan atau mimpi sesaat, justru sebuah
gerakan besar yang disebut hibbat zion telah
mempersatukan bangsa itu di seluruh dunia
dan wujudnya adalah terbentuknya
negara Israel yang menjadi perwujudan cita-cita ratusan bahkan ribuan
tahun. Tepatnya pada tanggal 14 Mei
tahun 1948 berdirilah negara Israel di atas bumi Palestina. Perhatian besar
terhadap gerakan misioner yang telah mempersatukan bangsa ini, menjadi sorotan
teologis dalam tulisan ini, mengingat misi bagaikan aliran air kehidupan yang
tidak pernah berhenti hingga lembaran sejarah ditutup oleh Yang Mahakuasa.
Penelusuran akan akar dan eksistensi dari jiwa hibbat Zion dimulai pada
Mazmur pasal 137 dan relefansinya bagi konteks hidup umat Kristiani di
Indonesia.
Kata
kunci : hibbat Zion, misioner kontemporer
Di tepi sungai-sungai
Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion. Pada
pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. Sebab di
sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan
nyanyian, dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita:
"Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion!" Bagaimanakah kita
menyanyikan nyanyian TUHAN di negeri asing? Jika aku melupakan engkau, hai
Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku! Biarlah lidahku melekat pada
langit-langitku, jika aku tidak mengingat engkau, jika aku tidak jadikan
Yerusalem puncak sukacitaku! Ingatlah, ya TUHAN, kepada bani Edom, yang pada
hari pemusnahan Yerusalem mengatakan: "Runtuhkan, runtuhkan sampai ke
dasarnya!"Hai puteri Babel, yang suka melakukan kekerasan, berbahagialah
orang yang membalas kepadamu perbuatan-perbuatan yang kaulakukan kepada kami!
Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu!
(Maz. 137)
Hibbat Zion dalam bahasa Ibrani artinya “Cinta Zion”
merupakan suatu ideologi dan gerakan yang bertujuan mewujudkan kebangkitan
nasional bangsa Yahudi dan mendirikan negara Israel di Palestina. Gerakan ini
menggali sebagian besar ideologinya pada nilai-nilai dasar tradisi Yahudi yang
muncul dalam situasi dikucilkan, dan rindu untuk datangnya masa pembebasan, dan
juga terdapat ikatan emosional keagamaan dan spiritual dengan tanah Palestina[1].
Ideologi dan gerakan Hibbat Zion ini
lahir dari pengalaman pahit bangsa Yahudi di seluruh dunia yang
terpencar-pencar akibat penguasaan raja Babel, raja Persia, dan Kekaisaran
Rumawi atas mereka selama periode ratusan bahkan ribuan tahun. Adalah menarik
bahwa sejarah Israel tidak dapat lenyap begitu saja dari panggung sejarah dunia
ini, tetapi selalu saja bangkit lagi, dan menjadi suatu keajaiban khusus karena
bangsa ini tidak lenyap begitu saja oleh keganasan imperialisme negara-negara
yang menaklukan mereka, mungkin ada faktor lain yang perlu ditelusuri hingga
pada akar sejarah. Dengan menelusuri kandungan filosofi Hibbat Zion penulis yakin sebagaian dari rahasia tersebut dapat
diungkapkan kepada kita.
Menempatkan Hibbat
Zion dalam kerangka Misi membutuhkan penjelasan ringkas mengenai sejarah
kehidupan bangsa Yahudi yang telah dibagi oleh Prof. Garry M. Burge dalam
bukunya berjudul Palestina Milik Siapa? mendeskripsikan 3 periode dalam sejarah
Israel sebagai berikut :
- Periode Alkitab yang berada
dalam rentangan waktu dari tahun 2000 sebelum Masehi hingga tahun 324.
- Periode Abad Pertengahan yang
berada dalam kurun waktu tahun 324 Masehi hingga tahun 1918
- Periode Modern dalam kurun
waktu tahun 1918 hingga sekarang[2]
Pada periode sekitar 2000 hinga 1000 tahun sebelum Masehi
itu merupakan periode awal pada sejarah bangsa ini. Suku keturunan Abraham
bermigrasi dari Mesopotamia (Irak) ke tanah Kanaan yang merupakan bagian dari
provinsi Mesir[3].
Selanjutnya Yakub bersama dengan 12 anaknya bermigrasi ke Mesir dan menetap di
sana lebih dari 400 tahun. Kemudian Musa memimpin bangsa ini kembali ke Kanaan
dan selanjutnya Yosua yang memimpin mereka masuk ke Kanaan sebagai tanah
perjanjian berdasarkan Kejadian pasal 12 dan pasal 15: 7 dan 18-21.
Periode 1000 hingga 538 sebelum Masehi ditandai dengan
berdirinya kerajaan Israel yang dipimpin oleh Saul, selanjutnya menjadi Israel
raya pada masa pemerintahan Daud dan Salomo, dan sesudah pemerintahan Salomo
kerajaan ini menjadi terpecah dua sebagai akibat dari tidak terdapat kesesuaian
pendapat antara rakyat Israel dengan Rehabeam putra raja Salomo (1 Raj. 12:1-24
dan 2 Taw. 10:1-19) yaitu kerajaan Utara
yang terdiri dari 10 suku berpusat di Samaria dan kerajaan Selatan yang
kemudian disebut Yehuda terdiri dari 2 suku berpusat di Yerusalem.
Selanjutnya pada tahun 721 sebelum Masehi kerajaan Israel
itu ditaklukkan oleh Asyur dan kerajaan selatan yaitu Yehuda ditaklukkan oleh
Nebukadnezar dari Babel pada tahun 586 sebelum masehi, hal ini sesuai pula
dengan nubuat nabi Yeremia 25:1-14. Kerajaan Israel dan Yehuda tersebut hancur
lenyap, namun demikian perlu diperhatikan bahwa hancurnya negara Yahudi tidak
berarti Yudaisme juga turut hancur. Merrill C. Tenney mengatakan bahwa “Pada
kenyataannya, paham Yudaisme ortodoks justru lahir dan berkembang pada masa
pembuangan itu. Banyak di antara mereka
yang dibuang membawa kitab Taurat dan kitab para nabi yang mereka anggap
sebagai kitab suci mereka dan meskipun mereka tidak dapat mempersembahkan
korban di Bait Suci, namun mereka tetap menyembah Allah[4].
Rupanya kepahitan hidup masa pembuangan itu sembari menjalani pembelajaran
berharga dari Allah sendiri, telah menghasilkan pemahaman akan jati diri secara
fundamental pada bangsa Yahudi ini
Selanjutnya kerajaan Persia menaklukkan Babel dan dibawah
pemerintahan Koresy tawanan yang diangkut ke Babel itu diperbolehkan kembali ke
tanah airnya yaitu Yerusalem. Kebijakan ini mencakup pemberian izin bagi banyak
orang yang dibawa dalam pembuangan oleh orang Babel untuk kembali ke negeri
mereka dan membangun kembali rumah-rumah ibadah mereka, walau demikian izin
yang demikian menuntut adanya kesetiaan terhadap kekuasaan Media-Persia
sehingga walaupun Israel dikembalikan ke negeri mereka, namun Israel tetap
tidak mempunyai raja dan harus tunduk pada imperium Media-Persia[5]
Selanjutnya
Aleksander Agung menaklukkan timur tengah setelah mengalahkan Persia pada tahun
333 sebelum Masehi dan menguasai Israel dan menjadikannya sebagai bagian dari
kekaisaran Yunani selama 150 tahun[6].
Kemudian pada kurun waktu tahun 164 hingga tahun 63 sebelum Masehi terbentuklah
kerajaan Yahudi Hasmoni yang ditandai dengan kemenangan pasukan Yahudi atas
Yunani dan Gary M. Burge mengatakan bahwa kerajaan Yahudi ini terbentuk pertama
kali sejak pemerintahan monarkhi masa Perjanjian Lama[7]
Tetapi kerajaan tersebut tidak dapat
bertahan lama oleh karena mengalami konflik internal.
Selanjutnya bangsa Romawi yang menaklukkan seluruh daerah di
timur tengah sekitar seabad sebelum Yesus lahir (tahun 63 sebelum Masehi) dan
setelah kemenangan Pompeyus pada tahun tersebut, maka Roma telah menyatakan
Yudea sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya dan menganggap Herodes dan para
imam berada di bawah pemerintahannya[8].
Tetapi daerah Yudea sebagai salah satu provinsi pada kekaisaran Romawi ini
menimbulkan berbagai konflik yang tidak cukup memberikan keadaan yang kondusif
bagi pemerintahan Roma. Ada serentetan pemberontakan kaum Yahudi kepada
pemerintah Roma yang sudah dimulai pada tahun 66 masehi terjadi di beberapa
kota, pasukan Romawi dibantai oleh para pemberontak Yahudi[9].
Akhirnya pada musim semi tahun 70 Jenderal Titus melancarkan serangan
besar-besaran atas Yerusalem dan kota itu akhirnya jatuh sepenuhnya dalam
kekuasan Roma, tembok kota itu dihancurkan dan pintu gerbangnya di bakar,
demikian juga Bait Allah yang dibangun Herodes itu dibakar habis menjadi rata
dengan tanah.
Dalam peristiwa penghancuran Yerusalem ini tergenapi nubuat
Yesus dalam Matius 24:1-2, Markus 13:1-2 dan Lukas 21:5-6. Dan walaupun Titus
tidak memerintahkan demikian, namun Bait Allah dibakar, rakyat dibantai atau
dijual sebagai budak dan seluruh kota diratakan dengan tanah[10].
Sejak peristiwa itu seperti dikemukakan oleh Burge bahwa banyak orang Yahudi
yang berpindah dan membentuk komunitas-komunitas Yahudi di seluruh dunia antara
lain: Eropah, Afrika Utara, dan berbagai daerah di Timur Tengah[11].
John Walvoord menyebut peristiwa ini sebagai perserakan yang ketiga dan
terakhir dan membuktikan kebenaran nubuat Yesus dalam Lukas 21:20-24, peristiwa
yang sangat menyedihkan terjadi penganiayaan berat dan pembunuhan pulihan ribu
orang Israel[12].
Sejak saat itu kedaulatan Israel di atas tanah Palestina menjadi hilang
walaupun Yudaisme masih saja tetap hidup dimana mereka berada sebagai kaum
pendatang di negeri yang ada di seluruh dunia.
EKSISTENSI HIBBAT ZION
BERDASARKAN MAZMUR 137
Dalam penjelasannya, Marie Claire Barth & B.A. Pareira
menjelaskan bahwa Mazmur 137 ini yang
seluruhnya dikutip di atas pasti berasal dari periode sesudah pembuangan dan
jemaah yang menyanyikan Mazmur ini pasti mengalami sendiri peristiwa pembuangan
itu[13] Berdasarkan penjelasan latar belakang
munculnya Mazmur 137 maka selanjutnya uraian bagian ini hendak mengetengahkan
suatu gambaran tentang perkembangan dan dinamika Hibbat Zion selama kaum
Yehuda Israel ada dalam pengalaman pahit selama beberapa dekade sejarah hingga
pada saat berdirinya negara Israel di Palestina 14 Mei tahun 1948.
Kecintaan terhadap Sion atau Yerusalem merupakan pokok yang
perlu ditelusuri mengingat bahwa dalam Mazmur 137 ini seperti dikemukakan oleh
MC. Barth mengandung ungkapan cinta yang luar biasa besar dan kuatnya terhadap
Yerusalem, bahkan melebihi kandungan Mazmur pasal 84 dan 122 yang juga
mengungkapkan kecintaan kaum Yahudi terhadap Bait Allah[14]
“Di tepi sugai-sungai Babel di sanalah kita duduk sambil
menangis apabila kita mengingat Sion” (ayat 1).
Nyanyian ini mengungkapkan bahwa di dalam penderitaan yang mendalam suku
Yehuda yang berada di pembuangan Babel, persisnya di tepi sungai Kebar yang
dekat dengan pemukiman orang Yahudi di Babel seperti dikemukakan dalam Yehezkel
1:1 dan pasal 3:15 bahkan Yehezkiel sendiri pernah berada bersama dengan orang
buangan di tepi sungai itu selama tujuh hari, dan selanjutnya menerima
penglihatan-penglihatan berkenan dengan panggilannya sebagai penjaga Israel
untuk bangsanya di pembuangan itu.
Biasanya kecapi itu dimainkan dengan penuh sukacita, akan tetapi dalam
syair ini kecapi itu justru digantung di dahan pohon-pohon gandarusa sejenis
pohon yang tumbuh di rawa-rawa pinggir sungai (ayat 2). Tekanan utama ayat ini
adalah suasana sedih, menangis, merenung ketika orang-orang Yehuda teringat
kembali kepada Sion.
Pada syair ini ingatan terhadap orang-orang Babel yang
melukai hati dan perasaan para buangan itu dihidupkan kembali dan bisa saja
pemazmur bertujuan supaya ingatan terhadap hal ini dapat hidup sepanjang
sejarah, dengan tujuan supaya Israel tidak mengulangi perbuatan-perbuatan yang
membuat Allah murka terhadap mereka. Para penawan yang menyiksa mereka itu
meminta supaya mereka dapat
memperdengarkan nyanyian Sion, bukan kerena mereka merindukan dan menginginkan
nyanyian itu, tetapi mengejek, dan hanya menambah kepedihan supaya kaum Yahudi
semakin merasa terpuruk karena mereka jauh dari tanah leluhur mereka. Jadi hal
itu dapat dikategorikan juga sebagai penyiksaan mental yang dialami oleh umat
Yahudi di pembuangan itu.
Dalam Kitab Mazmur terdapat beberapa pasal yang khusus
menjadi nyanyian Sion seperti pasal 46:1-12 suatu nyanyian yang memuji kota
Allah yaitu Yerusalem, Allah berada di kota itu, melindungi umatNya dan
menolong mereka dalam peperangan, pasal 48 yang juga mengungkapkan keluhuran
dan kebesaran Allah di Sion sebab Ia telah memperkenalkan diriNya sebagai
benteng yang teguh bagi umatNya. Selanjutnya pasal 122 ini mengungkapkan
sentralitas Yerusalem sebagai tumpuan umat untuk berziarah dan tempat
mengharapkan akan datangnya kesejahteraan bagi umat Tuhan. Nyanyian ziarah Daud ini mengandung suatu
keyaknan bahwa Yerusalem dan Bait Allah merupakan tumpuan harapan semua orang
mendapatkan berkat-berkat kedamaian, keadilan
dan kesejahteraan. Inilah sebabnya mengapa suku-suku Israel selalu
merindukan Sion, kota Allah yang kudus dengan Bait Allahnya yang megah dan
diimani sebagai faktor menerima berkat keadilan, kesejahteraan, keluhuran dan
kebesaran di masa kini dan akan datang.
Di abad-abad kemudian sesudah peristiwa sejarah dalam
Perjanjian Lama, kita dapat menemukan bahwa nampaknya Hibbat Zion ini dapat
mencerminkan sebuah kesetiaan yang berlangsung sepanjang dinamika sejarah atau
dapat disebut sebagai kesetiaan dari waktu ke waktu yang tidak pernah habis dan
berhenti.. Hibbat Zion tidak berhenti
hanya pada masa Perjanjian Lama, tetapi berlanjut terus dalam kehidupan bangsa
ini, bahkan ketika mereka sudah tidak punya tanah air lagi dan berada sebagai
perantau di negeri orang. Hibbat Zion akan terus hidup dan berkumandang selama hayat
dikandung badan pada orang Israel atau selagi mereka ada maka filosofi ini akan
senantiasa ada. Penderitaan dan tekanan yang mereka alami tidak dapat mengubur
kecintaan mereka terhadap Sion kota Allah.
Israel ditindas di
berbagai negara, terutama di masa kekuasaan Nazi Jerman oleh Hitler, namun
mereka tetap tidak lenyap. Gerakan Hibbat
Zion pad awal tahun 1860 tidak terlepas dari kondisi ini. Prof Jacob Katz
mengatakan bahwa gerakan Hibbat Zion lahir
ketika perkembangan yang terjadi di negara-negara Eropah Timur memaksa sejumlah
besar orang Yahudi beremigrasi atau terpaksa meningkatkan kegiatan sosial dan
politiknya. Pada waktu yang sama juga para tokoh penganjur gerakan pencerahan (Haskalah) menjadi ragu dengan apa yang
selama ini mereka percayai bahwa terdapat kemungkinan terjadinya asimilasi
bangsa Yahudi dengan bangsa-bangsa Eropah dan mereka juga kecewa dengan
perjuangannya untuk mendapatkan persamaan hak bagi bangsa Yahudi[15].
Bila asimilasi yang diharapkan itu terjadi maka dapat dibayangkan bahwa
Israel tidak jadi mendirikan negaranya dan punya tanah air di Palestina. Justru
tekanan dan penderitaan yang mereka alami itu menjadi pemicu yang positif bagi
perkembangan kerinduan umat Israel di seluruh wilayah Eropah bagi terwujudnya
tanah air mereka dan sekaligus kerinduan untuk kembali di Palestina. Hingga
pada titik ini dapat dikatakan bahwa gerakan Hibbat Zion telah menjadi inti gerakan yang kemudian meluas dan
sangat berpengaruh yang disebut Zianisme.
Gerakan ini tidak selalu mendapat tanggapan positif terutama oleh banyak
saudara orang Israel di Palestina yaitu orang-orang Arab, tetapi keberhasilan
zionisme seara positif dapat dilihat ketika telah terbentuk negara Israel dan
menjadi sebuah bangsa sama seperti bangsa-bangsa lain yang ada di dunia ini
Apakah Tuhan Allah telah menanamkan suatu kerinduan yang
demikian dalam batin setiap orang Yahudi dimana saja? Mazmur 84:3 mengatakan
“Jiwaku rindu karena merindukan pelataran-pelataran Tuhan, hatiku dan dagingku
bersorak-sorai kepada Allah yang hidup” dan Mazmur 42:3 mengatakan “Jiwaku haus
kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?”
Nampaknya perasan rindu kepada rumah/Bait Allah ini menyatu secara dinamis
dengan kerinduan akan Allah, karena nyanyian-nyanyian tentang Sion itu
berintikan pada kerinduan kepada Allah sendiri, dan itulah yang penulis dapat
lihat serta rasakan getarannya pada kedua nats Mazmur di atas.
KONTRIBUSI
HIBBAT ZION BAGI KEKERISTENAN
DI
INDONESIA
Akumulasi dari pengalaman sejarah sebagai yang ditindas
menghasilkan pengalaman-pengalaman yang
posisitif dan negatif yaitu bertahan, gigih dan ulet hingga berhasil, tetapi
yang satu lagi kendati tidak diinginkan yaitu perasaan dan tindakan marah dan
tidak segan-segan untuk membunuh, dan
sayang sekali bahwa saudara sepepunya yaitu orang Arab di Palestina yang
menjadi sasaran kemarahannya itu. Hal ini yang dikritik oleh Prof. Gary M.
Burge yang sesungguhnya membayangkan dan menghendaki agar Israel dan orang Arab
dapat hidup berdampingan dalam satu tanah air yaitu Palestina[16]
atas dasar bahwa pemilik tanah Palestina sesungguhnya adalah Allah sendiri, dan
bila tesis ini dituruti, maka tanah Palestina merupakan milik semua orang di
dunia, semua orang di dunia berhak tinggal di situ.
Sekalipun tesis ini dibuat sebagai hasil review menyeluruh
atas konsep teologis yang terkandung dalam perjanjian Allah, namun menurut
penulis sebuah ide yang dipertimbangkan telah muncul untuk menemukan titik
pertemuan damai antara bangsa yang sedang berkonflik di Palestina. Tanah dan air adalah mutlak milik Allah,
bukan hanya tanah Palestina tetapi tanah dan air dimanapun yang terletak di
muka bumi ini merupakan milik Allah, termasuk tanah air kita Indonesia sehingga
semua orang juga berhak tinggal dan berada di Indonesia sama seperti semua
orang berhak tinggal di Palestina
Kandungan misi kontemporer dalam gerakan Hibbat Zion terletak dalam terwujudnya kesatuan Israel di
seluruh dunia dan kembali memiliki tanah air tempat hidup bernegara dan
berbangsa, sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya bahwa hal
itu terwujud berkat suatu gerakan yang mengakar pada kecintaan akan Sion kota
Allah, dan seungguhnya, cinta akan Sion itu sendiri mengalir dari hati Allah
yang tertanam dalam lubuk hati umat pilihanNya dari waktu ke waktu.
Kontribusi Misi kontemporer Hiibbat Zion bertolak dari
suatu penilaian dan pemaknaan obyektif atas gerakan ini pada konteks
historisnya. Dengan mengutip kembali sebuah pandangan holistik yang sudah
teruji pada gagasan Prof. Jacob Katz yang mengatakan bahwa bangsa Yahudi
merupakan kelompok yang lebih siap untuk membentuk gerakan nasional dibanding
kelompok etnis lain di Eropah. Sebelum kesadaran ini bisa menjadi sebuah unsur
nasionalisme modern, untuk pertama kali harus melampaui sejumlah tahap
transformasi tertentu. Melalui cara yang sama, semua bangsa juga harus
mengalami perubahan yang mendasar dalam perilakunya sebelum mereka mmapu
memunculkan gerakan nasional, bahwa mereka juga harus mengangkat simbul-simbol
etnisnya ke puncak nilai[17]. Itu berarti bahwa gerakan Hibbat Zion telah menjadi motivasi yang
mendorong amat kuat bagi mengkristalnya nilai-nilai etnisitas kau Yahudi di
seluruh dunia.
Orang Yahudi di seluruh dunia sadar akan keterbatasan mereka
sebagai sebuah komunitas yang dapat dibilang minoritas dibanding dengan
kelompok lain di Eropah dan dunia Arab pada saat itu. Namun mereka memiliki
pengharapan dan semangat berbangsa yang terpuji dan teruji dalam sejarah. Orang Kristen di Indonesia tidak perlu
terpuruk dengan suatu kutub berpikir tertentu yang membuat orang Kristen
sebagai kelompok integral pada bangsa ini. Dengan stigma berpikir minoritas
yang telah ditiupkan oleh orang-orang yang tidak menyukai kebersamaan dan
keharmonisan dalam hidup berbangsa di negara ini, dan meniupkan suatu penilaian
yang akan mempengaruhi cara berpikir kita dalam hidup berbangsa dan bernegara
yaitu dari segi jumlahnya oarng Kristen hanya kelompok minoritas di negara
ini. Hal itu justru bertolak belakang
dengan berpikir secara iman Kristen menurut Alkitab.
Orang Kristen di Indonesia tidak perlu terpuruk dalam
berpikir minoritas dan mayoritas. Ini adalah berpikir statistika yang tidak
memberi nilai maju dalam pemahaman iman. Alkitab justru memberikan kepada kita
suatu model dan prinsip berpikir kualitas seperti telah diajarkan oleh Yesus
dalam Matius 5:13-16 bahwa kita adalah garam dan terang dunia yang sangat
dibutuhkan oleh dunia dan lingkungan dimana kita berada. Prinsip berpikir ini akan sangat mempengaruhi
pemahaman akan panggilan kita sebagai warga negara, dan sekaligus memberi bobot
pada kualitas peran kita sebagai warga bangsa yang dikehendaki oleh Kristus
melakukan sesuatu bagi bangsa kita untuk kesejahteraan semua orang.
KESIMPULAN
Hibbat
Zion sebagai sebuah gerakan etnisitas yang
telah mendunia dan berhasil mencapai sasarannya, sebagaimana telah dikemukakan pada
pembahasan sebelumnya bahwa hal itu terwujud berkat suatu gerakan yang mengakar
pada kecintaan akan Sion kota Allah, dan seungguhnya, cinta akan Sion itu
sendiri mengalir dari hati Allah yang tertanam dalam lubuk hati umat pilihanNya
dari waktu ke waktu. Hibat Zion dapat menjadi inspirasi penting bagi setiap
orang Kristen di tengah kehidupan yang memamandang orang Kristen sebagai kaum
minoritas agar mereka tidak terpuruk dan bangkit dengan pemahaman iman yang
baru dan kompetetif menggapai masa depan yang gemilang di tangan Tuhan. Mazmur
137 memiliki kandungan teologis dan misiologis yang klasik namun up to date itu sebabnya nats ini
memiliki spirit kontemporer dalam konteks masa kini.
DAFTAR
PUSTAKA
Barth, Marie Claire & Pareira, BA. Tafsiran Kitab Mazmur 73-150 Cetakan ke 9 (Jakarta :
BPK
. Gunung Mulia) Tahun 2011
Burge, M,Gary. Palestina
Milik Siapa? ( Jakarta : BPK. Gunung Mulia) Tahun 2010
Hill, Andrew, E & Walton, John H. Survey
Perjanjian Lama, (Malang : Gandum
Mas)
Tahun
2008
Katz Jacob & Fiends Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Zionisme (Surabaya :
Percetakan Progresif) Tahun 1997
Tenney, Merril C. Survey Perjanjian Baru (Malang : Gandum Mas) Tahun 2001
Walvoord, John V. Penggenapan
Nubuat Masa Kini Zaman Akhir
((Malang :
Gandum Mas) tahun 1996
[1]Jacob Katz & Fiends Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Zionisme (Surabaya : Percetakan Progresif,
1997) halaman 37
[2]
Gary M. Burge, Palestina Milik Siapa? ( Jakarta
: BPK. Gunung Mulia, 2010) halaman 39-77
[3]
Ibid. Halaman 40
[4] Merrlill C. Tenney Survey
Perjanjian Baru (Malang : Gandum
Mas, 2001) halaman 26
[5] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survey Perjanjian Lama, (Malang : Gandum Mas, 2008) halaman 64
[6]
Gary M. Burge halaman 40
[7]
Ibid. Halaman 40
[8]
Merrill C. Tenney, halaman 51
[9]
Ibid. Halaman 54
[10]
Ibid. Halaman 54
[11]
Gary M. Burge, halaman 41
[12] John V Walvoord, Penggenapan Nubuat Masa Kini Zaman Akhir ((Malang : Gandum Mas, 1996) halaman 94-99
[13] Marie Claire Barth & B.A. Pareira
Tafsiran Kitab Mazmur 73-150 Cetakan ke 9 (Jakarta : BPK . Gunung Mulia,
2011) halaman 440
[14] Ibid. Halaman 442
[15] Jacob Katz halaman 39
[16] Garry M. Burge, halaman 91-96
[17] Jacob Katz, halaman 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar