TEOLOGIA PERJUMPAAN DALAM KITAB AYUB
Oleh :
Pdt. Dr. Etiknius Harefa MTh
=============================================
Abstraksi
Perjumpaan
dalam konteks ini adalah sebuah pengalaman spiritual dalam hidup mengasihi
Allah. Pribadi-pribadi tertentu memiliki
penilaian tersendiri seperti layaknya teman-teman Ayub yang melihat penderitaan
sahabat mereka dari prespektif masing-masing.
Apa dan bagaimana warna kacamata mereka memandangnya, maka demikianlah
juga warna penilaian mereka terhadap Ayub.
Namun di mata Allah tidak demikian,
Ia memiliki suatu rencana yang hebat dan indah dalam diri Ayub. Hal itu menjadi nyata setelah Ayub
dipulihkan. Dari seluruh rangkaian pengalaman sukacita dan penderitaan dalam
perjalanan hidup Ayub, dinyatakan bahwa
kesalehan merupakan kualitas dan wujud personalitas manusia yang taat, setia
dan jujur serta terbuka kepada Allah. Ibadah merupakan seluruh eksistensi hidup
yang tunduk dan mengasihi Allah. Hidup saleh bukan tanpa dosa, melainkan hidup
di hadapan Allah dalam segala keberadaannya yang bersahaja dalam kefanaan
Kata kunci : Perjumpaan, Kesalehan, Hidup
Mengasihi Allah.
- Pengantar
Pandangan tentang Kitab Ayub mencakup konteks dan
amanat serta tujuannya pasti mempengaruhi pada prinsip dan ciri teologis yang
dikembangkan berdasarkan kitab ini.
Sri Wismoady Wahono misalnya dalam bukunya Di Sini
Kutemukan memberi pemahamannya bahwa kitab ini disusun oleh penulis atau
redaktornya dengan sangat kreatif serta menyajikan mutu sastra yang indah dan
sengaja, tetapi di dalam kitab ini disajikan masalah teologis yang berat,
nampak dalam bentuk percakapan antara Ayub dengan teman-temannya.1 Kemudian S.Wismoady Wahono menilai
bahwa “Kalau disimak lebih teliti maka jelas bahwa perdebatan itu sangat kurang
meyakinkan”2, alasannya nampak pada hubungan antara prolog dan
epilog, demikian juga diskusi itu tidak teratur tanpa ujung pangkal, Wahono
juga menemukan bahwa Ayub yang dikisahkan pada prolog nampak berbeda dengan
Ayub yang dikisahkan dalam bagian utama kitab ini.3
Kelihatannya pandangan ini tidak terlepas dari penilaian dan penerimaan secara
menyeluruh mengenai keabsahan kitab Ayub oleh penulis, dan hal itu juga mengindikasikan
bahwa Wahono tidak dapat menerima kalau Ayub pernah hidup dalam sejarah atas
dasar ditemukannya redaksi yang tidak konsisten pada pemberitaan kitab ini
sejauh menyangkut sajian dialog yang kurang meyakinkan.
F.L.Bakker sorang ahli sejarah Alkitab menyatakan
bahwa Ayub pernah hidup dalam sejarah, “Ayub dan kawan-kawannya termasuk
orang-orang dari zaman bapa-bapa leluhur, yang masih mengenal dan beribakti
kepada Allah……jadi oleh karena itu Ayub hidup di zaman dahulu sebelum Israel
masuk ke Kanaan. Sejarahnya disusun seorang pujangga dalam bentuk puisi dengan
tuntunan Roh Allah”4
Parlaungan Gultom melihat sesuatu yang lain dari apa
yang diperdebatkan oleh para ahli mengenai pandangan mereka atas tujuan
pemberitaan kitab Ayub. Gultom mengemukakan bahwa kitab Ayub tidak memberikan
jawaban yang pasti terhadap anggapan para ahli itu5.
Selanjutnya dikemukakan bahwa “tujuan utama kitab kelihatannya adalah untuk
menunjukkan bahwa hubungan yang benar di antara Allah dan manusia dalam dan
untuk semua keadaan didasarkan terutama pada kasih karunia Allah yang Mahakuasa
dan respon manusia akan iman dan kepercayaan yang bersifat tunduk6
Perjumpaan
dalam konteks tulisan ini adalah suatu pengertian yang secara khusus
menjelaskan tentang pengalaman hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah
lewat penderitaan yang dialami. Menjadi sorotan pemikiran adalah “Bagaimana
perjumpaan itu telah terjadi, dan bagaimana Kitab Ayub menyaksikannya”?
kemudian “Apakah perjumpaan itu memberi makna penting atau memberi sumbangan
bagi perkembangan pemikiran dan kedewasaan iman seseorang yang mengalaminya”?
Selanjutnya, dapatkah pengalaman rohani tersebut diaplikasikan pada kenyataan
pengalaman seorang Kristen masa kini dalam menghadapi pergumulannya”?
Bertitik tolak dari
pikiran mengenai hubungan yang benar di antara Allah dengan manusia sebagaimana
dikemukakan menjadi tujuan utama kitab Ayub, maka penulis berasumsi bahwa
hubungan yang benar itu nampak pada konteks paragraf pasal 42 : 1-6 sebagai sebuah bentuk perjumpaan yang berbeda
dengan keadaan sebelumnya, dan dapat disebut sebagai perjumpaan yang sejati, kemudian
hubungan yang benar ini terealisasikan secara konkrit pada paragraf berikutnya
yaitu ayat 7-17 karena itu penulis bermaksud melakukan sebuah pendekatan
teologis kemudian mencoba membandingkan konsep perjumpaan sejati ini dengan
Perjanjian Baru.
- Titik Tolak Perjumpaan Adalah Penyesalan
Ayub mengatakan “Oleh sebab itu aku mencabut
perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu”.(42:6) Ucapan
ini menjadi pangkal terbukanya suatu hubungan baru yang pasti dimulai dari
kesadaran akan kesalahan dalam sikap dan ucapan yang pernah dilontarkan
sebelumnya oleh Ayub. Sikap dan ucapan Ayub telah memperlihatkan bahwa dia mengecam dan mencela Allah
atas penderitaan yang dialaminya (pasal 39:35)
Apakah alasan Ayub mencabut perkataannya? Pada
paragraf ini nampak 3 hal yaitu: a. Sekarang Ayub tahu bahwa Allah sanggup
melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencanaNya yang gagal (ayat 2), b.Tanpa
pengertian selama ini Ayub telah berkata-kata tentang hal-hal yang sangat ajaib
dan tidak diketahuinya (ayat 3b), c..Pengetahuan Ayub tentang Allah selama ini
tidak lebih dari sekedar sebuah informasi dari orang lain (ayat 5a)
Dalam konteks percakapan dengan temannya Bildad (ps
8-10) kelihatan bagaimana dia memahami penderitaannya sebagai suatu perkara
dalam hubungannya dengan Yahweh, Ayub mengatakan “Bila aku berseru, Ia
menjawab, aku tidak dapat percaya bahwa Ia mendengar suaraku, Dialah yang
meremukkan aku dalam angin ribut, yang memperbanyak lukaku dengan tidak
semena-mena, yang tidak membiarkan aku bernafas tetapi mengenyangkan aku dengan
kepahitan”. (ps 9:16-18) Di sini perkara itu dihadapkan pada Allah, lebih
dari sekedar bahwa Allah membiarkan penderitaan menggerogoti Ayub tetapi
menurutnya Allah yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, padaNya ada kuasa
dan ia telah menyerahkan hal itu ke dalam tangan orang fasik “kalau bukan
Dia, oleh siapa lagi”? (ps 9:24). Dengan mencermati ayat 16-18 dan 30-31
kelihatannya Ayub telah dikuasai oleh pikiran yang pesimistis.
Kemudian Ayub terus mencela dan membantah pada Allah
dengan mengatakan “Apakah untungnya bagiMu mengadakan penindasan, membuang
hasil jerih payah tanganMu, sedangkan Engkau mendukung rancangan orang fasik” (ps
10:3) Dengan perasaan geram Ayub memahami kuasa Allah yang mutlak dan di
dalamnya ia tidak dapat berkutik, lalu ia angkat bicara menentang Allah dengan
emosi yang meluap-luap. Ayub tidak mengerti pertimbangan dan keputusan Allah
atasnya sehingga ia berkata “Ingatlah, bahwa Engkaulah yang membuat aku dari
tanah liat, tetapi Engkau hendak menjadikan aku debu kembali?”(ayat 9-10)
Ayub melihat bahwa kehidupan yang benar atau berdosa sama saja pada situasi seperti itu (band.
ayat 14-17) lalu kesimpulannya pada bagian ini adalah penyesalan terhadap
tindakan Allah atasnya dengan mengatakan: ”Mengapa Engkau menyebabkan aku
keluar dari kandungan, lebih baik aku binasa, sebelum orang melihat aku”(ayat
18)
Dalam konteks pembicaraan dengan Zofar orang Naama
(pasal 11-14) yang walaupun Ayub mengakui kekuasaan dan hikmat Allah, namun ia
berusaha membela perkaranya di hadapan Allah (ps 13:3) dan pada ayat 18 Ayub
mengklaim bahwa ia benar. Dalam konteks ini juga kelihatan sebuah perkembangan
dalam pemahaman Ayub akan perbedaan yang hakiki antara manusia dengan Allah, ia
berpikir bahwa manusia hanya bagaikan sekuntum bunga yang berkembang dan akan layu,
seperti bayang-bayang (ps.14:2), tetapi dalam pengertiannya itu terselubung
ketidak tahuan akan kekuasaan Allah sehingga pada kesempatan itu Ayub mencela “Masakan
Engkau menunjukkan pandanganMu kepada orang yang seperti itu dan menghadapkan
kepadaMu untuk diadili” (ayat 3) Dalam ukuran perimbangan manusia Ayub
berpikir bahwa Allah tidak sudi melakukan hal itu atasnya.
Selanjutnya, dalam pembicaraan dengan Elifas (pasal
15-17) nampak bahwa Ayub mengeluh dengan perlakuan Allah hingga membuatnya
makin pesimis, sampai ia mengatakan “Tetapi bila aku berbicara,
penderitaanku tidak menjadi ringan, dan bila aku berdiam diri, apakah yang
hilang dari padaku” (ps 16:6) Jadi,
sekali lagi Ayub merasa bahwa semuanya menjadi sia-sia, fakta telah menunjukkan
bahwa Allah telah menyerahkan dirinya kepada orang lalim dan menjatuhkannya
(ayat 11), Allah telah menggelisahkannya, menangkap dan membantingnya, serta
merobek-robek hidupnya (ayat 11-14).
Perkembangan pemikiran Ayub semakin nampak dalam
pembicaraan dengan Elifas pada pasal 22-24. Sahabatnya ini menganjurkan supaya
dia bertobat (ps 22), dan sekalipun kelihatannya Ayub ingin membela diri di
hadapan Allah (ps 24), namun di sana mulai kelihatan bahwa Ayub semakin
menyadari kekeliruannya dan keMahakuasaan Allah atas hidupnya, di situ Ayub
mengatakan bahwa Allah tidak pernah berubah, dan tidak dapat dihalangi oleh
siapapun, Ia akan menyelesaikan apa yang
telah Dia tetapkan baginya, lalu Ayub merasa gemetar dan takut berhadapan dengan
Allah (band. ps 24:13-15)
Tahapan perkembangan pemahaman Ayub ini semakin nampak
pada pasal 28-30, tetapi pada pasal 31 kita masih menemukan pendirian Ayub yang
mengaku tidak bersalah dalam hubungannya dengan orang lain hingga ia berani
mengatakan apabila semuanya itu telah dilakukannya “maka biarlah bukan
gandum, tetapi onak, dan bukan jelai tetapi lalang” (ps.31:40) Pernyataan
ini tidak hanya dapat diartikan sebagai pembelaannya tetapi juga merupakan
sumpah pembenaran dirinya di hadapan Allah.
Dari sikap dan ucapan yang sedikit telah diketengahkan
pada pembahasan di atas, maka sangatlah berdasar ketika pada pasal 42:6 Ayub
mengatakan bahwa ia mencabut semua perkataannya itu dan menyesal yang berarti
bahwa ia memasuki dimensi pertobatan dan rindu memulai hubungan baru dengan
Allah.
- Perjumpaan Ayub Dengan Allah
Perjumpaan Ayub dengan
Allah jelas terjadi dalam penderitaannya.
Pemahamannya akan Allah dibentuk kembali sehingga dapat dikatakan bahwa
dalam diri Ayub terwujud suatu pemahaman baru akan penderitaannya yang disikapinya
lewat penyesalan dan pertobatan.
Pada pasal 42:5b Ayub
mengatakakan “tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” . Dalam
konteks yang bagaimana seharusnya nampak bahwa Ayub telah dimungkinkan untuk
menyaksikan bahwa ia mengalami perjumpaan
sejati dengan Allah sebagai suatu pengalaman yang konkrit baginya? Pertama
yaitu: Bahwa pengalaman dalam penderitaan mewujudkan renungan yang semakin
berkembang dalam diri Ayub sebagai hamba Allah yang saleh (ps 1:8). Beberapa
nats menunjukkan hal itu sekalipun terungkap dalam konteks perdebatan dengan
sahabat-sahabatnya antara lain: Ada
kesadaran dan pengakuan bahwa hidup itu sementara (ps 7:7,17; 14:2), Allah itu
Mahakuasa, Mahabijaksana penuh hikmat (ps 9:4 ; 12:16 ; 13:3 ; 28:1-28) Allah
Maha mengetahui dan Maha Adil (ps 21:22), Ia tidak pernah berubah (23:13) Allah
Maha Besar (26:1-14)
Kedua Jawaban yang diberikan Allah kepada Ayub (ps 38-41)
menghasilkan pemahaman yang memungkinkan hamba yang saleh itu mengalami
perubahan pemahamannya tentang Allah secara baru. Jawaban kepada Ayub mengenai
kemutlakkan dan ke Mahakuasaan Allah dalam segala pertimbangan dan keputusanNya
nampak dalam dua tahap, pertama yaitu pasal 38-39. Jawaban ini memperlihatkan
keMahakuasaan Allah atas ciptaan dan alam semesta. Firman Allah yang menantang ini
dijawab Ayub dengan rendah hati pada pasal 39:37 demikian “Sesungguhnya, aku
ini terlalu hina, jawab apakah yang dapat kuberikan kepadaMu? Mulutku kututup
dengan tangan”. Tahap kedua nampak dalam pasal 40 dan 41 yang
memperlihatkan ke Mahakuasaan Allah atas hidup manusia. Selanjutnya Firman
Allah ini dijawab oleh Ayub pada pasal 42:1-6 dan merupakan kesimpulan akhir
yang di dalamnya menjadi nyata bahwa Ayub mengalami perjumpaan sejati dengan
Allah dalam penghayatan akan penderitaan itu dan pemahamannya akan jawaban
Allah atas kasus penderitaan yang dia alami..
Ketiga Pada kenyataan
ini diperlihatkan betapa jauhnya jarak antara pemahaman manusia dengan Allah,
betapa tingginya kehendak Allah mengatasi perasaan yang terdapat dalam hati
manusia, betapa baiknya Allah mengatasi segala kesalehan manapun yang pernah
ada.
Dari seluruh rangkaian pengalaman sukacita dan penderitaan dalam
perjalanan hidup Ayub, dinyatakan bahwa
kesalehan merupakan kualitas dan wujud personalitas manusia yang taat, setia
dan jujur serta terbuka kepada Allah. Ibadah merupakan seluruh eksistensi hidup
yang tunduk dan mengasihi Allah. Hidup saleh bukan tanpa dosa, melainkan hidup
di hadapan Allah dalam segala keberadaannya yang bersahaja dalam kefanaan.
God
bless
1. Sri
Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, Jakarta BPK.G.Mulia,
1987, halaman 227
2 Ibid, hal. 227
3 Ibid. hal
228
4 F.L.
Bakker, Sejarah Kerajaan Allah,
Jakarta BPK G.Mulia, Cet. 12, 2000, halaman 237
5 Parlaungan
Gultom Teologi Perjanjian Lama bagian II Ayub – Maleakhi , 1999,
Yogyakarta STII Hal.2
6 I b
i d halaman 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar