PAK DALAM KONTEKS
MASYARAKAT INDONESIA YANG MAJEMUK
Abstrak
Pendidikan Kristiani adalah pendidikan agama yang memiliki visi syalom,
pengajaran yang membebaskan manusia. Antone dan Kadarmanto menjelaskan
sebagaimana pendidikan yang membebaskan tersebut dapat dipahami dan
diejahwantahkan dengan baik dan benar sesuai dengan pelayanan Yesus dan konteks
tradisi Yahudi saat itu. Hal-hal inilah yang menjadi poros dalam tulisan kedua
tokoh di atas. Di mana kemajemukan dalam kehidupan masyarakat pada saat itu
kembali dianalisa guna pendidikan masa kini. Pendidikan yang membebaskan
mengajarkan kontekstualisasi bersumber pada dasar teologis, sosiologis,
psikologis dari masyarakat itu sendiri.
Pembahasan
Dalam bab satu buku
Pendidikan Kristiani Kontekstual, Hope Antone menjelaskan objek pembahasan
pendidikan di benua Asia. Di mana benua Asia memiliki jumlah penduduk yang
terpadat dan beragam baik segi budaya, bahasa, suku bangsa bahkan agama.
Menurut Antone keberagaman tersebut merupakan paradoks, satu sisi menjadi
sumber kesejahteraan bagi masyarakat di Asia dan di sisi lain menjadi masalah
atau konflik. Permasalahan tersebut dikarenakan keberagaman akan agama dan
budaya yang telah menjadi realitas utama dalam kehidupan masyarakat. Hemat
Antone bahwa kemajemukan agama dan budaya merupakan terbentuknya ‘Dunia
Ketiga.’ Di mana di benua Asia terdapat lapisan dan aliran agama yang beragam
dan saling berkait. Salah satu penyebab umum keberagaman tersebut adalah
pernikahan antar agama dan perpindahan agama karena pergumulannya akan agama
yang dimakna. Selanjutnya adalah keberagaman akan fakta keagamaan di Asia yang
multiskriptural (banyak kitab suci). Masalah-masalah berkait yang bersifat umum
diarahkan pada realitas lain dari konteks Asia seperti masalah kemiskinan,
perjuangan dan penderitaan. Di sini Antone setuju dengan pandangan Aloysius
Pieris yang mengatakan bahwa masalah kemiskinan sebagai sesuatu yang muncul dan
pendorong ke arah Dunia Ketiga pada negara-negara di Asia.
Kemajemukan di atas
menjadi persoalan terkait dengan masalah ketidakadilan sosial, politik dan
ekonomi yang menjadi pemicu konflik agama maupun suku. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa agama di benua Asia telah mencakup segala sesuatu dari akar
persoalan. Agama dilihat sebagai alasan untuk mendirikan negara baru yang
disebut Dunia Ketiga. Padahal aspek persoalan tersebut lebih bersifat
ketidaktahuan akan agama-agama lain, sikap intoleran dan kecurigaan dengan
agama lain, serta bertumbuh sikap fanatisme dan fundamentalisme yang muncul
dibeberapa kominutas.
Dengan demikian dapat
dilihat bahwa permasalahan di benua Asia di atas berkaitan dengan keinginan
masyarakat Asia yang mendambakan hidup yang damai, aman, berlimpah dan
bermanfaat. Agama yang memiliki visi akan kedamaiaan, keamanan, kelimpahan dan
martabat tersebut menjadi jalan keluar akan permasalahan hidupnya. Maka agama
dipelihara dalam setiap ajaran dan tradisi pada setiap komunitas umat.
Hal yang sama dapat
dilihat pada masyarakat Kristen Asia. Ajaran agama dalam visi di atas telah
berakar pada inti ajaran dan gaya hidup Yesus. Sementara itu di tengah kemajemukan
yang di benua Asia masyarakat Kristen Asia menyadari bahwa hidup yang sesuai
visi Yesus menjadi pedoman hidup yang menuntut mereka untuk mengenali apa yang
Allah perlihatkan secara khusus sebagaimana berhubungan dengan masyarakat Asia
lainnya.
Dalam hubungan di atas
tugas dan tanggungjawab masyarakat Kristen yakni mengajarkan masyarakat lain
akan kebenaran yang diajarkan Yesus. Di sini Antone kembali membandingkan
penginjilan masa lalu dan kini. Antone mengatakan bahwa sebenarnya penginjilan
tersebut telah ikut ambil bagian akan kesalahpahaman dan sikap permusuhan di
antara masyarakat Asia yang memiliki kemajemukan tradisi agama. Daripada itu
Antone mengusulkan sebagaimana masyarakat Kristen Asia untuk memperhatian
teladan Yesus yang bersikap sesuai dengan kasih Allah. Misalnya memelihara
sikap pemahaman terhadap diri sendiri maupun pemahaman akan yang lain, sikap
menghormati diri sendiri dan orang lain, keramahtamahan, serta menanamkan
kemitraan terhadap komunitas lain. Intinya Antone mengatakan bagaimana
masyarakat yang dapat menghargai setiap perbedaan dan persamaan yang ada, serta
dapat belajar untuk hidup dalam damai dan harmonis sebagai kesatuan ciptaan
memiliki kemajemukan. Inilah keunikan manusia.
Selanjutnya Antone
mengatakan bahwa konteks kemajemukan di atas kemudian membentuk teori
pendidikan di benua Asia. Teori pendidikan yang telah menjadi suatu bingkai
penuntun akan penyelenggaraan pendidikan telah memetakan pendidikan yang
dilaksanakan, menggambarkan tujuan, menjelaskan dasar-dasar pendidikan, serta
menganjurkan bentuk praksis yang sesuai dengan persoalan masyarakat yang
dihadapi. Di sini Antone menekankan tugas dan tanggungjawab negara, para
penyusun teori serta praktisi pendidikan agar memperhatikan arah dari teori
pendidikan agama serta bagaimana pendidikan tersebut menjadi jalan keluar akan
masalah dan kebutuhan masyarakat yang berhubungan dengan kemajemukan agam dan
budaya khususnya di benua Asia.
Di benua Asia telah
berkembang asumsi bahwa teori pendidikan yang kontekstual yang sesuai dengan
konteks partikular yakni bersifat dinamis dan tidak statis, serta pendidikan
yang dapat merespon dengan segera dan tepat. Pendidikan yang dinamis artinya
teori yang dapat diubah, dimodifikasi, dan mutakhir sesuai masanya. Dengan kata
lain teori pendidikan kontekstual berarti siap mengakui dengan rendah hati akan
keterbatasan upaya yang telah ada, baik itu persepsi, konsepsi, artikulasi, dan
analisis yang dibentuk oleh kemampuan fisik dan psikologis manusia sesuai
dengan konteksnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
perubahan dalam teori pendidikan harus bersifat kontekstual. Pendidikan yang
berkembang harus dapat merespon kebutuhan yang dari konteks tertentu. Di sini
letak dari keunggulan teori pendidikan yang bergantung pada bentuk relevansi
teori dan kelayakan akan konteks tertentu. Intinya tidak ada teori yang dapat
dikatakan statis yang mengakibatkan konflik atau ketidakpuasan akan suatu
pendidikan. Seperti yang dikatakan John Dewey dalam pendidikan yang paradoks di
mana pendidikan yang sehat harus dipengaruhi oleh konflik dan kebangkitan
gerakan sosial, di sisi lain pendidikan bukan merupakan sarang konflik. Dengan
demikian pendidikan harus dapat menganalisa setiap pekerjaan serta perkembangan
pendidikan yang cerdas yakni memastikan penyebab konflik, menganalisa, kemudian
menyusun rencana operasional yang tepat. Di sini Antone mengabungkan pendidikan
yang bersifat historis dari pendidikan kekinian yang disebut Christian
Education dan Religious Education.
Lanjut Antone bahwa akar pendidikan
Kristiani berasal dari kebudayaan Ibrani atau Yahudi. Di mana kebudayaan
manusia pada saat melihat pendidikan untuk mempertahankan hidup, baik di dalam
keluarga maupun di masyarakat lebih luas. Pendidikan di sini mencakup pelatihan
dasar kemampuan untuk bertahan hidup, penanaman nilai-nilai komunitas, dan
pewarisan nilai-nilai budaya. Seperti dalam peride utama Alkitab yakni periode
sebelum pembuangan pre-exilic, periode sesudah pembuangan post-exilic
dari masa Perjanjian Lama dan periode Perjanjian Baru. Selanjutnya pendidikan
Kristiani juga dapat dilihat dari cara Yesus dan cara murid-murid. Akan tetapi
cara dari keduanya dibedakan karena ada pergeseran nyata dalam isi dan perilaku
pendidikan. Di mana Yesus berpusat pada Kerajaan Allah dalam masyarakat-Nya
sendiri. Misalnya Yesus mengajar dan khotbah, menyembuhkan orang sakit,
mengusiran setan sebagai pelayanan kebutuhan manusia.
Hal ini berbeda pada periode Patriastik
maupun yang terjadi pada abad pertengahan. Pelembagaan agama Kristen sebagai
agama Negara menimbulkan masalah baru pendidikan Kristiani. Seperti baptisan
masal yang menimbulkan masalah tersendiri karena tidak melalui tahap pendidikan
yang sesuai denga ritusnya.
Dalam perkembangannya ungkapan pendidikan agama terdapat beberapa istilah
yang digunakan. Mary Boys menggunakan pendidikan Kristiani pada masa
pencerahan. Jonathan Edwards dari kaum evangelikal dan revivalisme pada tahun
1800an maupun Karl Barth dan Rudolf Bultmann menekankan pertobatan perasaan dan
pengalaman akan keberadaan Kristus. Selain itu dari Gilbert Albert Coe, Walter
Rauschenbach dan John Dewey menyebutnya dengan pendidikan agama. Hal ini
dipengaruhi konsep teologi liberal dan pendidikan progresif. Penekanan
diarahkan pada pengalaman manusia, pertumbuhan iman dan rekonstruksi tatanan
sosial. Intinya harapan yang metafisik tidak dapat diterima. Selain itu bentuk
lainnya pendidikan Katolik yang disebut juga katekese yang menekankan
kepedulian iman kepada masyarakat. Selanjutnya bentuk lainnya yakni pendidikan
agama ekumenis yang mengupayakan kesatuan gereja. Bentuk terakhir adalah
pendidikan agama multikultural. Di sini gereja sampai pemahaman bahwa gereja
dengan budaya minoritas mengakui identitasnya sebagai kaum minoritas di tengah
kaum mayoritas. Melalui pendidikan multikultural ini, diharapkan gereja mampu
membuka diri.
Dengan demikian
jelas dapat dipahami bahwa perbedaan antara pendidikan Kristiani dan Pendidikan
Agama yakni pendidikan Kristiani menekankan untuk mempromosikan kembali teologi
neo-ortodoks yang merujuk pada Alkitab sebagai landasan pendidikan yang sesuai
dengan perkembangan waktu. Intinya pendidikan Kristiani mengedepankan
nilai-nilai Kristiani dalam pelaksanaan pendidikan. Seperti pandangan Mary
Elizabeth Moore yang melihat kedua penamaan di atas sama yakni menekankan
kebutuhan perubahan yang signifikan serta kebutuhan yang berkesinambungan dan
penentuan warisan. Gabriel Moran berpendapat bahwa pendidikan tersebut agama
atau Kristiani adalah sesuatu yang harus dipelajari masyarakat Kristen guna
mengetahui cara memelihara hubungan yang baik antara orang-orang yang berbeda
kepercayaan.
Dalam penggunaan nama pendidikan Agama
guna melihat permasalah dalam konteks itu sendiri yakni adanya pluraitas agama.
Gabriel Moran, Norman H. Thompson, dan John Westerhoff yang mengusulkan bahwa
pendidikan agama harus menghadapi persoalan objektivitas, muatan, metodologi,
dan konteks. Salah satu solusi untuk permasalahan tersebut adalah WCC dan CCA
melakukan program dialog antar iman dan antar agama. Hal ini sesuai dengan
permasalahan kemajemukan yakni pluralisme agama di Asia.
Dengan demikian Antone mengusulkan pendekatan Teologis
dan Edukatif terhadap kemajemukan yakni membuat semacam tipologi guna
membedakan sikap dari agama terhadap kemajemukan tersebut. Antara lain
ekslusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Dalam analisa John Hick mengatakan
bahwa ekslusivisme berarti menjadikan arogansi agama; Inklusivisme berarti
memberi ruang kepada agama lain akan keberagaman; dan pluralisme berarti
mengadakan kesetaraan dan keterbukaan pada setiap agama.
Selanjutnya Antone kembali menjelaskan
hubungan Alkitab dengan pluralisme. Di mana pengalaman dan pelayanan Yesus dan
lingkungan masyarakat Yahudi menjadi poros dalam bagian ini. Antone mengutip
pandangan Niebuhr bahwa ada kecenderungan orang Kristen untuk mengklaim
kebenaran yang mutlak dari penafsiran Alkitab yang normatif. Niebuhr mengatakan
hal ini sebagai suatu kejahatan dalam hidup. Selain itu pengutipan ayat Alkitab
yang berlebih telah mengabaikan rangkaian utuh dari narasi Alkitab.
Oleh karena itu, Antone mengusulkan cara
memahami Alkitab tentang pluralisme yakni belajar dari sikap Yesus dalam
berhubungan dengan orang lain khususnya menghadirkan syalom. Seperti dalam
Lukas 8:21 Yesus mengatakan ‘Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku.’ Di sini identitas
tidak dibatas pada suatu komunitas tapi kepada semua orang yang percaya, tanpa
membedakan laki-laki dan perempuan, suku dan kondisi ekonomi.
Refleksi
Menurut hemat penulis,
tulisan Antone dan Kadarmanto yang mengambil objek pembahasan pada konteks Asia
khusus Indonesia yang memiliki kemajemukan. Hal ini mengajarkan bagaimana
memahami pendidikan agama dan Kristiani itu secara mendasar. Dengan kata lain
permasalah penginjilan dan pelaksanaan pendidikan tidak serta merta pada satu
aspek tapi muli-aspek. Dengan demikian pendidikan agama dan Kristiani
seharusnya dikembalikan pada pemahaman akan suatu kebenaran Alkitab yang
bertanggungjawab dan menghargai pemahaman, gagasan yang lain.
Sementara itu pendidikan
agama dan pendidikan Kristiani adalah sesuatu yang harus dilaksanakan secara
bersama-sama. Di mana pendidikan agama yang melihat konteks kemajemukan dalam
masyarakat dan dapat menyelesaikan isu-isu kemanusiaan. Di sisi pendidikan
Kristiani juga dapat mengembangkan proses pertumbuhan suatu komunitas iman
dalam kemajemukan.